Tidak Ada Pamole’ Beo’ Tahun Ini
(Claudia Liberani Randungan)
April adalah aroma beras baru yang menguar dari periuk di atas tungku di sore hari, mengepul dan terbawa angin, menyeruak memenuhi sudut-sudut dapur milik Tabo’, lelaki 56 tahun yang hidup seorang diri di rumah kayu paling sederhana di kampung ini. Sebuah perkampungan di lintas utara, tidak jauh dari perbatasan Sarawak Malaysia. April adalah musim panen, nasi baru pasti tersedia di rumah-rumah penduduk.
Tubuh lelahnya bersandar di kursi plastik berwarna merah yang sudah mulai rapuh. Sejak pukul 16.00 WIB ritualnya dimulai, duduk menunggu nasinya matang sambil menyeruput kopi. Setelah nasinya matang dan bara mulai padam dia akan turun ke sungai, membersihkan diri di Sungai Tamambaloh yang jernih. Melepas penat sehabis memangkas daun kratom, mencukupkan diri untuk hari ini. Ketika listrik menyala pukul 17.00 nanti, dia akan duduk di depan tv menyaksikan siaran berita. Musim panen ladang tak menuntut banyak perhatian. Setelah mengumpulkan bulir-bulir padi hingga tengah hari, tak masalah jika ia ditinggalkan, diselingkuhi dengan memasang bubu ikan, memangkas daun kratom, atau menjemput anak ke sekolah jika punya.
Tabo’ tentu saja punya, namun dia hanya menjemput anaknya setahun sekali di ibukota kecamatan. Putra semata wayangnya, Lunsa, sedang menempuh kuliah semester akhir di ibu kota provinsi, anak yang meninggalkannya sendirian setelah tamat SMA dan hanya pulang sekali dalam setahun untuk merayakan pamole’ beo’, upacara syukur selepas panen di pertengahan tahun, bertepatan dengan libur panjang yang nyatanya tidak pernah panjang bagi mereka berdua karena Lunsa hanya pulang tiga hari. Dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Karena dari sanalah dia mendapatkan uang untuk biaya hidupnya di kota, membayar sewa kontrakan, uang kuliah, menyantuni anak yatim sesekali, atau meniduri perempuan ketika sedang ingin.
Dia tidak pernah memintanya bekerja keras di usia muda, namun bagi Lunsa dia tidak pantas menerima uang dari ayahnya ketika usianya sudah 21 tahun, sekitar tiga tahun yang lalu.
"Saya sudah dewasa, pak. Biarlah kerja keras kita menjadi milik kita masing-masing,” ucapnya saat kali pertama menolak uang dari Tabo’ yang dikirim lewat CU. Setelah itu uang tidak lagi jadi pembicaraan mereka. Tidak pernah muncul dalam obrolan, sama seperti sosok ibunya yang tidak pernah dibicarakan sejak kepergiannya tujuh tahun silam. Bagi mereka berdua mengunjungi makam orang yang telah tiada adalah cara mengenang yang terbaik, mereka tidak pernah mengungkapkan sesaknya menahan rindu bertahun-tahun, saat perjumpaan ayah dan anak itu tiba mereka tidak pernah absen untuk menjenguk makam ibunya.
Bola mata Tabo’ yang cokelat berbinar, dia membayangkan keriuhan Pamole’ Beo nanti, menanti kepulangan Lunsa. Tiap kali melihat anaknya dia merasa sedang melihat dirinya sendiri, dirinya yang terperangkap di tubuh pemuda 24 tahun. Belakangan rindu padanya semakin kuat, memang rindu semakin terasa saat usia semakin menua. Meski itu tak pernah terucap dari mulutnya. Baginya menjadi lelaki berarti harus mampu melawan, termasuk melawan diri sendiri, melawan rindu. Rasa rindu dan sayang tidak pernah diungkapkan melalui kalimat, ada rasa enggan untuk mengatakan itu tapi mereka tahu masing-masing merasakannya.
Lunsa tumbuh dengan sayang dan rindu yang tidak pernah terucap, ini juga yang akhirnya membentuk dia menjadi pemuda yang misterius. Dia tidak dingin, pemuda itu sangat tahu cara bersikap, mulai dari penjual nasi kuning di sekitar kontrakan hingga pejabat tinggi di kepolisian bisa menjadi teman mengobrolnya, namun dia tidak pernah membuka diri pada oang lain. Tidak ada yang benar-benar tahu siapa Lunsa sebenarnrya, teman-temannya hanya mengetahui Lunsa seorang pemuda desa yang datang dari perbatasan, kuliah sambil bekerja sebagai kurir di sebuah perusahaan jasa pengiriman barang.
Tidak ada yang tahu kesepian seperti apa yang dirasakannya, seluas apa ruang yang kosong di hatinya. Pemuda itu sepanjang tahun hanya memikirkan bagaimana cara meninggalkan pulaunya, merantau ke tempat yang jauh dari jangkauan ayahnya maupun kerabat yang sebenarnya tidak begitu peduli pada hidup mereka, dia ingin meninggalkan identitas yang dirasanya tidak memiliki arti apa-apa selain membatasi hubungannya dengan orang lain, dia ingin bebas menjadi siapa saja yang datang dari mana saja, tidak ada label suku yang dapat dibaca orang lain bahkan hanya dari nama yang diberikan padanya, tidak ada label pemuda desa karena dia ingin diterima semua orang, bergaul dengan siapa saja tanpa ada pembatas.
Sampai akhirnya dia yakin untuk pergi dengan meninggalkan jumlah saldo berlipat sebagai bentuk penebusan pada sang ayah, karena itu dia bekerja dan mulai mengumpulkan uang, sudah dicatatnya berapa digit saldo yang harus dicapainya sebelum usianya 27 tahun.
Dia berencana meninggalkan semua kerja kerasnya untuk sang ayah. Ayahnya yang seorang sarjana muda, mempelajari listrik bertahun-tahun namun seumur hidup bercita-cita menjadi petani. Ayah yang dianggap keras kepala oleh keluarga, terlebih saat memilih menikahi seorang perawan tua yang mengajar anak-anak di kampung. Begitu kepergiannya tiba, dia yakin ayahnya bangga pernah memiliki anak sepertinya. Dan semua rencana ini disimpannya rapat-rapat, diletakkan pada ruang-ruang kosong yang tercipta dari kerinduan pada sosok utuh yang disebut keluarga, ruang kosong yang begitu luas dan tak terukur.
Dia tidak pernah mengeluh, termasuk pada teman seperkopiannya di warkop karena dia tidak percaya siapapun selain dirinya sendiri, tidak pula ayahnya yang kini sedang menunggunya. Menanti kepulangannya untuk merayakan syukur atas kebaikan yang diberi sampulo’ sepanjang tahun ini. Pulang yang juga diinginkannya, karena hanya saat pulang dia bisa menjadi seorang anak, seorang anak lelaki yang tertidur pulas di samping ayahnya. Menghalau bisingnya suara gendang dan gong dari balai adat, mencoba terlelap di tengah kemeriahan pesta pamole’ beo’, di tengah hingar bingar dunia yang luas di kepalanya.
Sementara aroma nasi matang semakin kuat dan kopi sudah sampai pada seruput terakhir, Tabo’ masih enggan beranjak. Lelah kali ini benar-benar dinikmatinya, dia menimbang-nimbang kegiatan apa yang akan dilakukannya bersama Lunsa kali ini, tapi seperti yang sudah-sudah, perayaan Pamole’ Beo’ bagi mereka berdua adalah perayaan syukur atas rezeki yang masih ada sehingga harus dirayakan dengan makan yang cukup. Hari pertama kedatangan Lunsa biasanya mereka hanya mengobrol di rumah, makan bersama, menerima kunjungan beberapa tetangga yang datang untuk basa basi atau sekadar ingin tahu apakah Lunsa sudah menyelesaikan kuliahnya atau belum, sore hari mereka akan turun ke sungai, mengayuh sampan dan mulai menjala ikan ketika matahari mulai redup.
Hari kedua kepulangannya sering dilalui dengan tiduran sepanjang hari dan seperti hari pertama, menerima beberapa tamu yang itu-itu saja dari tahun ke tahun. Hari ketiga dia akan kembali ke kota. Seperti itulah Lunsa, tidak ada yang membuatnya betah berlama-lama di kampung, dia hanya ingin berjumpa ayah dan mengenang ibunya. Tidak ada teman apalagi sahabat tersisa, semua teman seumurannya sudah tidak memiliki kenangan pertemanan masa kecil bersamanya, sejak ayahnya mati-matian menolak industri perkebunan kelapa sawit di desa itu, dia nyaris kehilangan perhatian semua temannya, bahkan warga. Kalau masih ada yang bertandang, mereka hanya berbasa-basi.
Ayahnya akan mengantarnya ke ibu kota kecamatan menggunakan Proton, di kecamatan itulah mereka akan berpisah, Lunsa naik bus menuju bandara di ibu kota kabupaten, sementara ayahnya akan plesir ke negeri tetangga yang hanya memakan waktu dua jam, nikmat lain dari pembangunan jalan perbatasan sepanjang 1.920 KM oleh pemerintah baru-baru ini.
Dulu melintasi perbatasan antarnegara bisa menggunakan motor, langkah Tabo’ bisa lebih ringan, dia bisa memacu RX King yang dulu ditunggangi bertiga sewaktu mereka masih utuh. Namun setelah beberapa kali petugas menangkap pengendara yang membawa sabu, akses untuk kendaraan roda dua ditutup. Plesir pun harus menggunakan mobil, meski hanya seorang diri.
Kepulangan Lunsa kali ini lebih ditunggunya. Anak lelakinya berjanji membawakan bubuk mitragyna speciosa yang telah diolah, tidak seperti daun yang baru dipetiknya hari ini. Bubuk itu didengarnya memiliki khasiat untuk menghilangkan gangguan tidur dan pereda nyeri pada tulang.
Belakangan rasa nyeri pada lututnya semakin terasa, dia selonjorkan kakinya, diregangkannya sendi-sendinya hingga ruangnya membuka, menurukan tekanannya dan menarik gas-gas yang kemudian terlarut dalam cairan sinovial hingga menghasilkan suara krek. Suara yang langsung disusul dengan nada dering panggilan masuk dari kerabat di ibu kota.
“Bang, saya sedang di kantor polisi, Niko ditangkap....”
Hanya kalimat itu yang bisa didengarnya dengan baik. Nikolaus Lunsa, putra semata wayang yang baru saja dijumpainya dalam ingatan itu tertangakap oleh BNN karena kepemilikan obat-obatan terlarang. Obat-obatan yang membuatnya tidak bisa mengendarai kendaraan roda dua lagi jika ingin melintasi negara tetangga.
Hanya kalimat itu yang bisa didengarnya dengan baik. Nikolaus Lunsa, putra semata wayang yang baru saja dijumpainya dalam ingatan itu tertangakap oleh BNN karena kepemilikan obat-obatan terlarang. Obat-obatan yang membuatnya tidak bisa mengendarai kendaraan roda dua lagi jika ingin melintasi negara tetangga.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bulir bening dari matanya jatuh, terakhir kali dia menangis di hari pemakaman istrinya, hari ini dia menangisi putranya yang bekerja untuk mafia, tidak hanya mengantarkan barang-barang biasa, tapi juga barang-barang haram. Putra yang menjadi satu-satunya harapan dan alasan mengapa ia selalu merasa cukup ternyata terlibat dalam sindikat narkoba internasional.
Dia akhirnya mengerti, di balik mudahnya mobilisasi antarnegara ada akibat fatal yang harus ditanggung, bahkan ditanggung oleh pemuda desa seperti Lunsa. Mendadak tubuhnya berkeringat dingin dan perutnya tidak nyaman, mungkin dia akan muntah atau menggigil karena entah, tapi satu-satunya yang meronta di kepalanya adalah pertanyaan mengenai hukuman seperti apa yang akan diterima anak lelakinya itu. Dia menangis dalam ketakutan dan kesedihan, tahun ini, Pamole’ Beo’ tidak mampir ke rumah kayu miliknya.
Cerpen ini telah dimuat di koran Pontianak Post edisi 18 April 2018.
sedih kak :'(
ReplyDelete