"Kita beragam, bukan seragam" Mungkin kalimat ini sudah begitu familiar di telinga teman-teman, apalagi jika bicara soal budaya Indonesia yang sangat kaya. Kenapa ya kita bisa dengan mudah menerima kalau budaya kita beragam, tapi begitu sulit ketika keberagaman ini dibawa ke ranah lingkungan?
Coba perhatikan bagaimana lahan yang dipenuhi aneka tumbuhan diubah menjadi tanaman monokultur skala besar, atau makanan pokok kita yang digantungkan hanya pada satu jenis tanaman saja padahal kita tahu ada banyak tanaman penghasil karbohidrat di sekitar kita.
Pada online gathering #EcoBloggerSquad kali ini kami banyak membahas tentang keanekaragaman hayati. Pematerinya adalah Ibu Rika Anggraini, Direktur Komunikasi dan Kemitraan Yayasan KEHATI. Aku jadi tahu kalau Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati kedua terbesar di dunia setelah Brasil.
"Keanekaragaman hayati ini adalah masa depan dunia, terutama di bidang pangan dan obat-obatan," kata Ibu Rika. Keanekaragaman pangan di Indonesia luar biasa lho. Ada 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, hingga 110 jenis rempah dan bumbu.
Dengan keanekaragaman pangan ini seharusnya tidak ada masalah stunting. Hanya saja negara kita memiliki catatan merah dalam penanganan persoalan pangan. Ketika rezim orde baru berkuasa, pemimpin negara mengeluarkan kebijakan politik yang tidak berpihak pada keanekaragaman jenis tanaman pangan, hal ini membuat penduduk terpaksa menanam dan mengonsumsi beras.
Karena Indonesia ini luas, beberapa wilayah memang tidak cocok ditanami padi. Ada daerah yang dulunya mengonsumsi umbi-umbian, sagu, atau sorgum sebagai makanan pokok. Di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur misalnya. Di sini Yayasan KEHATI mengangkat kembali komoditas sorgum sebagai tanaman penghasil karbohidrat. Sorgum dapat tumbuh dengan baik di lahan kering seperti Pulau Flores, dan secara historis memiliki akar budaya yang kuat dengan masyarakat lokal.
Populasi dunia saat ini diperkirakan lebih dari 7.8 milyar orang dan 273 juta adalah penduduk Indonesia. Tahun 2050 diperkirakan mencapai 9.7 milyar dan 321 juta adalah penduduk Indonesia. Sektor pertanian menjadi tumpuan untuk penyediaan pangan di seluruh dunia.
Kita hanya bisa berharap agar arah kebijakan pangan tidak meninggalkan pangan lokal dan tidak hanya mengutamakan kepentingan program semata. Jangan sampai kita jadi korban tagline "control food, control the people"
Keanekaragaman Hayati Sumber Inspirasi dalam Berkarya
|
Motif kerajinan yang terinspirasi dari buah / Dwi Prasetyo |
Selain soal pangan, yang menarik dari keanekaragaman hayati adalah daya magisnya yang mampu menginspirasi ribuan umat manusia untuk berkarya. Ini adalah salah satu hal yang membuatku takjub dengan alam. Kenekaragaman hayati di sekitar kita memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah manfaat sosial yang menunjang kebudayaan.
Ini bisa dilihat pada motif-motif yang terdapat pada batik, tenun, ataupun anyaman. Inspirasi hadir dari aneka jenis tumbuhan ataupun hewan, misalnya saja pada motif tenun Iban yang sering terinspirasi oleh tumbuhan pakis, anak bambu, atau binatang seperti buaya. Ada juga motif kerajinan tangan yang sering kutemui di sekitarku, yaitu palao'an, wadah untuk menyimpan benih padi yang akan ditanam. Motifnya terinpirasi dari beragam tumbuhan mulai dari bagian batang, buah, hingga dedaunan. Kalau ditelisik lebih dalam, masing-masing motif memiliki makna berbeda.
Keanekaragaman hayati juga jadi inspirasi dalam seni rajah tubuh. Misalnya tato Bunga Terong (bunga terung) dalam masyarakat Dayak Iban. Atau jadi inspirasi untuk seni ukiran dan pahat. Contohnya orang Tamambaloh yang menghiasi Sao Langke (rumah komunal) dengan ukiran naga atau burung enggang.
Lambang negara kita juga terinpirasi dari keanekaragaman hayati yang kita punya lho, yaitu burung garuda yang merupakan jenis Elang Jawa. Selain Indonesia, negara apa lagi ya yang menggunakan keanekaragaman hayati sebagai lambang? jawab di kolom komentar ya.
Ancaman Keanekaragaman Hayati, Bersiap untuk Kehilangan yang Lebih Besar
Selain sebagai sistem penunjang kehidupan, kenekaragaman hayati yang ada di sekitar kita juga memiliki manfaat sebagai jasa lingkungan, ekonomi, dan sosial. Karena manfaatnya yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia, isu ancaman keanekaragaman hayati jadi perlu diperhatikan juga.
Ketika keanekaragaman hayati mengalami kerusakan, dampaknya berbahaya bagi kehidupan kita. Kita terancam krisis pangan, air bersih, termasuk ekonomi. Saat ini perubahan iklim dan pemanasan global yang disebabkan gas rumah kaca turut mengancam keanekaragaman hayati, misalnya di laut. Beberapa kerusakan terumbu karang telah terjadi dan kita sepertinya harus bersiap menghadapi lebih banyak kehilangan keanekaragaman hayati jika tidak melakukan mitigasi perubahan iklim.
Perubahan iklim juga membuat beberapa tanaman tidak bisa tumbuh dengan baik, bahkan petani akan mengalami penurunan panen sebesar 10% untuk setiap kenaikan sihi satu derajat celcius suhu rata-rata. Nelayan juga akan menanggung resiko besar, tangkapan ikan akan menurun karena banyak jenis ikan yang bergeser mencari iklm yang lebih sejuk.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? mungkin bisa dimulai dengan melakukan hal kecil di lingkungan terdekat, seperti lingkungan rumah. Tindakan sehari-hari yang kita lakukan sebagai masyarakat bisa membawa perubahan besar jika dilakukan secara serentak. Dan tentu saja kita perlu pemimpin politik yang berpihak pada keadilan dan ekologi.
Kalian bisa mengikuti perjalananku untuk memahami isu lingkungan dengan membaca tulisan-tulisanku yang lain. Cek tagar #EcoBloggerSquad #EBS2021 atau klik Lingkungan di bagian menu. Sampai jumpa!
Comments
Post a Comment