Minyak kelapa sawit sebagai bahan baku utama biodiesel di Indonesia. Foto: Antara/ Akbar Tado |
Kita seringkali mendengar kata “biodiesel” tapi pernahkah mencari tahu sebenarnya itu apa sih? dan bagaimana peluang serta tantangannya di Indonesia?
Yuk ikuti obrolan tentang biofuel ini bersama Kukuh Sembodho dari Yayasan Madani Berkelanjutan dan Ricky Amukti dari Traction Energy Asia.
Sekilas tentang Biofuel atau Bahan Bakar Nabati
Sebelum bicara biodiesel sebaiknya kita bahas biofuel dulu yah. Biofuel ini dialihbahasakan menjadi Bahan Bakar Nabati (BBN) yaitu bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati atau organik. Berdasarkan kualifikasinya ada tiga generasi bahan bakar nabati, yaitu:
Generasi pertama berasal dari turunan pertama tanaman pangan.
Generasi kedua berasal dari turunan tanaman pangan atau tumbuhan non pangan.
Generasi ketika diperoleh dari mikroalgae dan sejenisnya.
Turunan BBN bermacam-macam, satu di antaranya adalah biodiesel, jenis yang satu ini selalu tersedia di POM Bensin. Di Indonesia penggunaan Biodiesel sudah lama dirancang. Tahun 2006 pemerintah Indonesia menginsiasi Program BNN lewat KEN, Inpres 1 Tahun 2006, dan Timnas BBN. Kemudian tahun 2008 roadmap BBN dibuat, dan mulai tahun 2015 dibuatlah target B30 lewat Permen ESDM No.12 Tahun 2015. Artinya dalam tiap 100 liter bahan bakar ada 30 liter bahan nabati dan 70 liter bahan minyak. Perlu penerapan bertahap untuk menuju B100.
Sampai saat ini biodiesel Indonesia masih menggunakan bahan baku tunggal yaitu minyak kelapa sawit (CPO). Kukuh Sembodho menyampaikan bahwa saat ini PT Pertamina sebagai BUMN yang melaksanakan mandatory biodiesel belum mewajibkan pemasoknya memiliki sertifikasi berkelanjutan.
Plus Minus Penggunaaan Biodiesel di Indonesia
Ternyata penerapan B30 menjadi strategi untuk menurunkan emisi di Indonesia, hal ini muncul dalam dokumen NDC tahun 2016 dan 2021. Sudah tahu apa yang ganjil?
ICCT 2021 menyebutkan bila dibandingkan dengan solar biasa, biodiesel kelapa sawit bisa memperbaiki emisi HC (Unburned Hydrocarbons) sebesar 20%, Karbon Monoksida (CO) sebesar 25%, dan Particulate Matter (PM) sebesar 43% untuk scenario B100.
Namun biodiesel sawit diperkirakan meningkatkan emisi Nitrogen Oksida sebanyak 0,8% setiap 10% bauran dibandingkan dengan solar biasa, baik pada mesin kendaraan lama maupun baru dan efeknya lebih terasa pada kendaraan baru dan bahan bakar dengan kandungan sulfur rendah.
Nah lho… Jangan sampai kebijakan BBN ini justru berdampak pada ekspansi lahan besar-besaran. Karena hingga saat ini sektor penyumbang gas rumah kaca di Indonesia adalah sektor lahan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu faktor utama.
Keselarasan BBN dengan komitmen iklim tidak hanya dilihat apakah BBN dalam penggunaannya menghasilkan lebih banyak emisi atau sedikit, tapi juga memperhatikan dampak-dampak yang ditimbulkan secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Sangat dilematis kan? Jadi rekomendasinya apa dong?
Menurut Madani ini prasyarat jika ingin membuat biodiesel sebagai Bahan Bakar Nabati:
1. Disverifikasi feedstock (bahan baku)
Pemerintah mulai melakukan disverifikasi bahan baku misalnya tumbuhan lain seperti jarak pager. Disverifikasi bahan baku juga bisa mengurangi dilema food vs fuel. Kita tidak perlu rebutan lagi minyak kelapa sawit untuk makan atau bahan bakar.
2. Peningkatan produktivitas feedstock
Penggunaan bahan baku kelapa sawit dilakukan karena paling banyak dan mudah ditemukan. Namun produktivitas perkebunannya masih rendah, untuk meningkatkannya perlu dukungan teknologi yang mumpuni. Daripada memperlebar luas perkebunan lebih baik meningkatkan produktivitas.
3. Peningkatan ketelusuran feedstock
Aspek ini belum dipenuhi oleh PT Pertamina sehingga kita tidak dapat memastikan sumber biodiesel dari mana. Ketelusuran feedstock ini bisa dimulai dari RSPO/ISPO.
Peluang dan Tantangan Penggunaan Biodiesel
Menurut Ricky Amukti dari Traction Energy Asia, penggunaan biodiesel sebenarnya bisa jadi peluang bagi perekonomian petani sawit mandiri atau swadaya. Dari keseluruhan kebun kelapa sawit, 40 persen dimiliki oleh petani swadaya atau pekebun mandiri.
Karena itulah pekebun swadaya perlu menjadi bagian dari rantai pasok biodiesel. Namun panjangnya rantai pasok membuat posisi mereka terjepit. Sehingga ketika korporasi dan perusahaan mendapatkan manfaat dari biodiesel, petani hanya kebagian remah-remahnya saja.
Memang benar harga tandan buah segar (TBS) jadi naik karena adanya kebutuhan biofuel tapi panjangnya rantai pasok tidak membuat pendapatan petani meningkat secara maksimal seperti korporasi atau perusahaan besar. Karena bagi petani sawit mandiri , semakin rantai pasoknya panjang, semakin sedikit untung yang diperoleh.
Jadi solusinya gimana dong?
Menurut Ricky, masalah rantai pasok ini bisa saja diatasi seandainya Kementrian ESDM mengeluarkan aturan yang mewajibkan BBN berasal dari CPO perusahaan kelapa sawit yang bermitra dengan petani swadaya.
Solusi lainnya adalah memanfaatkan minyak goreng jelantah. Ya! Betul! kalian tidak salah baca. Minyak goreng jelantah ternyata punya peluang besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel sayangnya belum dilirik pemerintah, saat ini penggunaannya masih skala komunitas kecil.
Begitulah bincang-bincang ringan bersama dua narasumber Eco Blogger Squad kali ini. Setelah tahu plus minus dan peluang serta tantangan penggunaan biodiesel di Indonesia kamu tambah optimis menuju Indonesia yang lebih bersih atau tambah overthingking? hehe
Kalian bisa mengikuti perjalananku untuk memahami isu lingkungan dengan membaca tulisan-tulisanku yang lain. Cek tagar #EcoBloggerSquad #EBS2021 atau klik Lingkungan di bagian menu. Sampai jumpa!
terimakasih atas informasinya, sangat bermanfaat
ReplyDelete