Air Terjun Sentarum di Silit / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit |
Setelah melakukan pagelaran seni di Sendi, Mojokerto, mengunjungi hutan Dayak Tomunt di Lamandau, Kalimantan Tengah, menyambangi dataran tinggi Tokalekaju di Sulawesi Selatan, dan menyapa Sikerei yang menjaga hutan di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Rimba Terakhir dari WALHI akhirnya tiba di Silit, sebuah dusun yang terletak di Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Saya menjadi bagian dari perjalanan ini, empat hari saya dan beberapa teman seniman mengeksplorasi keindahan alam dan budaya Silit. Menyepi sejenak dari rutinitas harian yang mulai membosankan jelang akhir tahun.
Menggunakan dua mobil, rombongan kami bertolak dari Pontianak menuju Silit. Kami harus menempuh perjalanan panjang, menahan penat karena berjam-jam duduk di mobil dari Pontianak sampai Simpang Kayu Lapis, sebuah simpang yang berada di perbatasan Bumi Senentang dan Bumi Lawang Kuari. Dari simpang ini kami harus melanjutkan perjalanan menuju pusat desa Nanga Pari. Melewati jalan berkerikil dengan tanjakan dan turunan yang lumayan memacu adrenalin. Kadang harus melalui jalanan berlubang, namun karena hari sudah menjelang malam saat kami menuju pusat desa maka pemandangan tidak begitu jelas. Jalan yang rusak tidak begitu nampak.
Dari cahaya mobil yang terbatas saya bisa menyaksikan deretan kebun sawit di kiri kanan jalan yang kami lewati, tanah-tanah gersang, pemukiman warga yang belum begitu padat di tepi jalan. Malam sudah tinggi saat kami tiba di pusat desa Nanga Pari. Rumah kepala desa menjadi tujuan kami, di sanalah kami beristirahat karena perjalanan menuju Silit dilanjutkkan keesokan harinya.
Jalan menuju Silit masih berupa tanah kuning, jaraknya sekitar 3 km dari pusat desa sangat beresiko jika dilewati menggunakan mobil. Berkali-kali mobil saling tarik karena jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui. Kadang kami juga harus turun dan jalan kaki sampai tiba di jalan yang agak mendingan, atau mobil yang satu berhasil ditarik. Maklum, Oktober adalah musim hujan, jalan susah dilalui ketika basah. Semakin menuju daerah tujuan, jalan semakin tidak memungkinkan untuk dilalui menggunakan mobil. Akhirnya satu mobil ditinggal di depan pondok warga, sebagian dari rombongan memutuskan berjalan kaki. Lumayan melelahkan.
Tapi semua rasa lelah jadi luruh saat kami tiba di rumah kadus yang jadi tempat tinggal kami selama berada di Silit. Tepat di depan rumah ini terbentang Sungai Silit yang jernih dan sejuk. Sungai yang langsung kami serbu begitu selesai mengobrol dengan kepala dusun yang menyambut kedatangan kami dengan ramah. Silit merupakan wilayah yang didiami masyarakat Dayak Seberuang, bahasa yang mereka gunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa Iban. Bahasa yang tidak begitu asing bagi saya, meski tidak lancar berbicara dengan bahasa ini, saya bisa mengerti artinya.
Silit, dusun kecil yang terletak di Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, Sintang / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit |
6 km dari kampung ini terdapat hutan yang dijaga turun temurun oleh masyarakat Silit. Dari hutan inilah mereka mendapatkan tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk berburu dan meramu. Sejak dulu sudah ada kawasan tertentu yang hanya dapat diambil kayunya, yaitu di kawasan Tinting Ban dan Tinting Jenang.
Selain wilayah tersebut tidak diperbolehkan mengambil kayu. Kayu yang diambil juga tidak untuk diperjual-belikan, tapi lebih pada penggunaan pribadi seperti memenuhi kebutuhan untuk membuat rumah atau peti mati. Searah dengan kawasan rimba Silit, terdapat tiga air terjun yang sering dijadikan objek wisata oleh masyarakat sekitar, yaitu air terjun Supit, Kiara, dan Sentarum.
Jelang sore hari kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke ladang salah satu warga. Kebetulan hari itu sedang dilaksanakan gotong royong untuk menugal. Saya bahkan berkesempatan untuk ikut memasukkan benih padi bersama warga. Berada di tengah masyarakat seperti ini selalu menyenangkan, kutipan dari Pram “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.” terasa nyata adanya. Tua dan muda bekerja sama dengan sukacita, gelak tawa mengiringi proses menugal hingga selesai.
Silit Mandiri, Silit Berdaulat
Masyarakat di Silit melakukan gotong royong menugal di ladang salah satu warga. / Dok. Tim Rimba Terakhir |
Sebelum pulang, kami diajak singgah ke rumah warga. Di sana kami disuguhi makanan khas yang hampir ditemui di semua komunitas Dayak, pulut atau lemang. Tidak hanya itu kami juga sempat menikmati olahan daging yang dimasak menggunakan penyedap rasa alami. Ternyata di Silit masyarakat jarang menggunakan micin ketika memasak.
Mereka lebih memilih menggunakan penyedap alami dari daun tumbuhan sengkubak. Selain tanpa bahan kimia, daun sengkubak juga bisa didapatkan dengan cuma-cuma tanpa harus membeli. Sebuah kemewahan yang semakin jarang ditemui. Sore itu, di depan rumah warga kami melepas penat. Menyantap makanan kecil yang mereka suguhkan sambil menikmati suara serangga yang riang menyambut malam.
Ketika malam tiba listrik pun menyala. Saya kira perjalanan kali ini akan memberikan pengalaman menghabiskan malam di bawah temaram pelita. Ternyata saya salah, Silit yang terpencil nyatanya bisa mengupayakan penerangan di malam hari. Menarik karena penerangan ini menggunakan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang bersumber dari Sungai Silit. Berdasarkan obrolan dengan Kepala Dusun, Pak Inus. Masyarakat membangun PLTMH secara swadaya, tanpa campur tangan pemerintah. PLTMH tersebut menyinari 63 rumah yang ada di Dusun Silit.
Dengan sumber informasi dan dana yang terbatas, masyarakat jelas melalui banyak tantangan. Pembangunan PLTMH melalui proses panjang. Tahun 2010 perencanaan telah dibuat, semangat yang diusung adalah semangat gotong royong dan kemandirian. Tahun 2011 pengerjaan mulai dilaksanakan, teknisi asal Bandung membantu mayarakat Silit untuk menyelesaikan misi ini.
Berbagai kendala sempat dialami, tahun 2012 pengerjaan sempat terhenti, tapi tahun berikutnya lanjut lagi. Bendungan sudah selesai dibuat tapi turbin tetap tidak berfungsi. Tahun 2015 masyarakat Silit membangun kemitraan dengan CU (Credit Union) untuk membeli alat seharga 669 juta. Pak Inus menuturkan masing-masing kepala keluarga mengambil kredit sebesar 14 juta. Dari kredit itu terkumpul dana 553 juta rupiah, sisanya kembali digenapi dengan swadaya.
Masyarakat Silit menunjukkan bahwa mereka mampu mandiri dan berdaulat di atas tanah mereka sendiri. Malam itu, di Silit, di sebuah dusun kecil yang jauh dari ingar bingar kendaraan, tanpa jaringan internet dan jauh dari kesan kemajuan jaman. Saya justru melihat betapa pikiran orang-orang ini lebih maju, menembus keterbatasan yang membelenggu mereka.
Sayup-sayup lagu Power To The People dari John Lennon yang tempo hari saya dengarkan sepulang kerja menari-nari di kepala saya. “Say you want a revolution, we better get on right away. Well you get on your feet, and out on the street. Singing power to the people.. power to the people.”
Mendengar Ruding, Mendengar Pantun dari Silit
Anak-anak menyeberangi Sungai Silit menuju ke sekolah. / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit |
Seperti daerah dataran tinggi umumnya, udara pagi di Silit sangat dingin. Kami menyeruput kopi sambil menikmati suasana pagi. Beberapa anak terlihat menyeberang sungai menuju sekolah, yang lainnya melewati depan rumah dengan senyum malu-malu. Sekolah di sini hanya tersedia sampai tingkat SD. Kalau ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya berarti harus ke pusat desa. Jam belajar dimulai pukul 08.00 WIB, sebelum masuk kelas anak-anak boleh bermain di lingkungan sekolah. Termasuk di tepi sungai karena sekolah mereka tidak jauh dari sungai.
Hari itu kami melakukan eksplorasi seni dan budaya melalui alat musik tradisional di Silit. Kami berkesempatan menyaksikan permainan ruding yang dibawakan oleh Nek Mina. Ruding adalah alat musik tradisional di Silit. Terbuat dari bambu dan dimainkan dengan ditiup sambil menarik senar yang terbuat dari tali.
Dulu alat musik ini sering dimainkan ketika orang-orang sedang dalam perjalanan menuju ke ladang, atau dimainkan di malam hari sambil menunggu kantuk datang. Tapi seiring berlalunya waktu, suara ruding semakin jarang terdengar. Bahkan di Silit sudah sedikit orang yang bisa memainkan alat musik ini. Beruntung kami bertemu Nek Mina, dia tidak hanya mengajari kami memainkan ruding, tapi juga menghadiahi alat musik ini untuk beberapa teman saya.
Nek Mina memainkan ruding, alat musik tradisional dari Silit yang sudah jarang dimainkan. / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit |
Selain ruding, kami juga berkesempatan mengenal instrument musik daerah di Silit. Tidak jauh berbeda dengan komunitas Dayak pada umumnya, di Silit gong juga digunakan sebagai alat musik untuk mengiringi tari-tarian. Tapi irama yang dihasilkan ternyata tidak hanya bisa dihasilkan dari gong, dengan menggunakan bambu kita juga bisa menghasilkan suara yang sama. Beberapa perempuan datang dengan bambu yang baru diambil dari hutan.
Lalu dengan cekatan mereka memotong bambu-bambu dengan berbagai ukuran tersebut, membuat lubang pada sisinya. Setelah dirasa pas, tangan mereka dengan cepat memukul gong tersebut secara bergantian, teratur dan tenang hingga terbentuklah sebuah irama. Siang itu sangat syahdu, di bawah pohon tengkawang yang mulai berbunga di samping rumah kadus, melalui bambu yang ditabuh oleh kelompok musik perempuan, kami menikmati irama musik etnik yang unik dari Silit.
Tiga orang perempuan menabung bambu yang menghasilkan suara layaknya gong. / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit |
Tidak cukup sampai di situ, saat malam tiba kami kembali dihibur dengan sastra lisan yang berkembang di Silit. Yaitu bemain, ini adalah sastra lisan yang berbentuk pantun. Permainannya sederhana saja, seseorang akan bertanya sambil berpantun, pertanyaannya bebas, sesuai dengan apa yang ingin diketahui penanya. pertanyaan ini kemudian harus dijawab kembali menggunakan pantun. Tapi jawaban harus berkaitan dengan bait pertama dan kedua dari pantun pertanyaan. Pantun dilantunkan dengan nada khas dan bahasa daerah.
Suasana sangat ramai, apalagi di penghujung malam menteri adat, Paulus Inka melantunkan pantun 30. Konon pantun ini merupakan senjata pamungkas untuk memikat pujaan hati. Pantun tersebut dilantunkan dengan lantang di antara derai tawa para pendengar. Ditemani bercangkir-cangkir kopi dan minuman khas Silit, suasana terasa hangat. Sesekali teman saya memetik senar gitar untuk membuat suasana semakin hidup. Gelak tawa semakin keras mengiringi malam yang sepi di dusun Silit. Memang, bahagia sesederhana itu.
Mengunjungi Air Terjun Supit, Kiara, dan Sentarum
Perjalanan menuju air terjun Supit, Kiara, dan Sentarum / Dok. pribadi. |
Hari ketiga merupakan puncak dari perjalanan kami di Silit, hari itu kami diajak mengunjungi objek wisata air terjun yang berjarak sekitar 5 km dari Silit. Ada tiga air terjun di sini, yaitu air terjun Supit, Kiara, dan Sentarum. Ketiganya merupakan objek wisata yang sudah tidak asing bagi orang-orang di Sintang. Dengan letak yang tidak berjauhan, ketiga air terjun ini bisa dijangkau dengan perjalanan satu arah. Perjalanan bisa ditempuh menggunakan motor. Untuk saya yang jarang melakukan perjalanan seperti ini, kondisi jalan menuju air terjun cukup membuat khawatir. Berkali-kali saya memejamkan mata ketika kami melewati jalan terjal yang berada tepat di tepi tebing.
Setelah mendekati objek wisata, motor harus diparkir di tempat yang telah tersedia. Kami harus berjalan kaki sebentar untuk sampai di air terjun Supit. Melewati beberapa tanjakan yang lumayan membuat napas saya ngos-ngosan. Silit adalah wilayah dataran tinggi tropis, kondisi jalannya memang banyak tanjakan dan turunan. Di kiri-kanan jalan terdapat banyak tanaman hias liar khas hutan tropis. Saya sering berhenti untuk mengamati tanaman liar yang memiliki daun atau bunga menarik.
Sampai di air terjun Supit rasa lelah langsung hilang melihat panorama yang ditawarkan. Air terjun Supit memiliki tebing yang curam yang membuat sungai di bawahnya terlihat seperti lorong kecil. Konon jika seseorang terseret arus sungai itu maka akan tembus ke sebuah sungai di daerah Ketapang. Untuk orang yang senang dengan tantangan, menjajaki air terjun Supit dan menapaki bebatuan di sekitarnya pasti sangat menyenangkan. Karena takut ketinggian saya hanya menikmati pemandangan dari tepi tebing. Itu juga dengan kaki yang kadang gemetar karena takut terpeleset.
Setelah puas menikmati air terjun Supit kami melanjutkan perjalanan ke air terjun Kiara. Dalam bahasa Silit Kiara berarti pohon beringin. Nama ini digunakan untuk penamaan air terjun karena di sekitar air terjun terdapat pohon Kiara. Di banding Supit, air terjun Kiara jauh lebih bersahabat bagi saya. Tanpa rasa takut saya langsung mencuci muka di airnya yang jernih dan sejuk, teman-teman melakukan hal yang sama.
Air Terjun Kiara / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit. |
Kiara memiliki bebatuan besar yang terpencar-pencar, tapi tidak begitu luas sehingga spot untuk mengambil foto terbatas. Kami beristirahat beberapa saat di sana, menikmati udara segar yang bebas polusi. Suara air terjun yang jatuh membuat suara harus dikeraskan ketika bicara. Saya menghirup napas dalam-dalam, aroma hutan di air terjun Kiara pasti akan selalu saya rindukan.
Perjalanan kami pun dilanjutkan karena sebelum tengah hari kami harus sudah sampai di air terjun Sentarum. Dengan langkah kaki yang tergesa-gesa karena semangat, saya berjalan mengikuti rombongan. Jarak Sentarum tidak begitu jauh dari Kiara. Begitu sampai di air terjun ini kami langsung berhamburan, masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Batu di Sentarum seperti sengaja dihamparkan, seakan-akan memang diperuntukkan bagi orang-orang untuk bersantai sambil menikmati pemandangan air terjun.
Bersantai di atas tebing Air Terjun Sentarum / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit |
Sungai Sentarum juga luas, tapi arusnya deras. Harus waspada kalau tidak bisa berenang. Airnya sangat segar, berendam di sini menjadi sebuah kemewahan tersendiri. Sentarum dengan batu-batunya yang kokoh menyimpan banyak pertanyaan di kepala saya. Bagaimana panorama ini terbentuk, batu-batu kokoh yang menyambut kedatangan kami. Mandi saja tidak cukup, kami juga mencoba untuk naik ke puncak tebing. Ternyata pemandangan di sini jauh lebih indah. Melihat langsung air-air ini meloncat ke bawah. Tapi tetap waspada karena ada bagian batuan yang ditutupi lumut sehingga jadi licin.
Menyelamatkan Sungai dan Hutan Silit, Menyelamatkan Kehidupan di Silit
Silit dan hutannya yang masih terjaga / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit |
Saya dan beberapa teman memilih istirahat berlama-lama di atas tebing. Berbaring di atas batu, di bawah teduhnya pepohonan dari rimba silit. Berdasarkan obrolan dengan kepala dusun dan menteri adat, pak Inus dan Paulus Inka, masyarakat Silit memang sepakat untuk menjaga hutan yang mereka miliki. Di masa orde baru ketika Soeharto berkuasa, hutan di Silit pernah dijajal perusahaan kayu lapis. Tapi sejak illegal logging diberantas, perusahaan itu pun lenyap.
Puluhan tahun setelah itu incaran dari perusahaan lain datang. Menurut penuturan pak Kadus belakangan banyak perusahaan kelapa sawit yang mencoba masuk ke wilayah Silit. Tidak hanya itu, perusahaan tambang juga jadi ancaman bagi Sungai Silit. Sungai ini memiliki kandungan emas yang tinggi, sangat seksi bagi korporasi. Tapi masyarakat tidak mau menyerahkan hutan dan sungai yang mereka miliki karena menurut kepala dusun di sanalah semua kebutuhan terpenuhi.
Ketika mereka membutuhkan air dan ikan, Sungai Silit menyediakan air jernih dan ikan segar. Ikan semah merupakan jenis ikan yang banyak ditemui di perairan Silit. Air Sungai Silit tidak hanya jadi tempat untuk minum dan mandi, tapi mampu memberikan pencahayaan bagi puluhan rumah yang ada di dusun kecil ini. Keanekaragaman hayati di Sungai Silit juga tetap terjaga karena di sini ada larangan untuk mengambil ikan dengan tuba.
Hutan jadi tempat di mana semua kebutuhan pangan maupun papan tersedia, dan semuanya bisa didapatkan secara gratis. Tanpa perlu membayar, tanpa harus dikuasai oleh satu golongan. Hutan juga jadi rumah bagi satwa yang memiliki hubungan dekat dengan masyarakat Silit. Terutama suara burung, dalam hal-hal tertentu masyarakat Silit masih mempertimbangkan tanda dari alam ketika hendak melakukan sesuatu. Suara burung dipercaya sebagai peringatan untuk nasib baik atau sebaliknya.
“Sudah sering kampung kami didatangi orang perusahaan, tapi kami selalu menolak. Selama saya jadi kepala dusun saya akan melawan habis-habisan untuk menolak semua jenis perusahaan yang masuk ke sini. Baik itu perusahaan sawit maupun tambang,” ujar kepala dusun Silit waktu kami mengobrol tentang hal ini. Sebuah pernyataan keras yang cukup jelas. Pernyataan yang tidak jauh berbeda dengan pernyataan menteri adat, Paulus Inka.
“Kalau hutan habis, nasib kami bagaimana. Sementara kami sampai saat ini masih bergantung pada hutan. Keperluan sehari-hari kami masih didapatkan di hutan. Ambil rotan, daging, dari sana. Kalau perusahaan datang, habis sudah,” tuturnya.
Mereka berharap semangat untuk mempertahankan hutan dan kekayaan alam yang ada di Silit bisa didukung oleh semua pihak. Tidak hanya masyarakat Silit tapi juga para pemerintah dan para penggiat konservasi. Menyelamatkan hutan Silit sama dengan menyelamatkan kehidupan masyarakat di Silit.
Gawai Ngemaik Anak ke Sungai, Perkenalan Pertama Bayi dengan Alam
Gawai ngemaik anak ke sungai, perkenalan pertama bayi dengan alam. / Dok. Tim Rimba Terakhir Silit |
Ketika matahari sudah semakin tinggi kami memutuskan untuk kembali ke perkampungan. Saya ingin secepatnya tiba di rumah karena kedinginan. Sepanjang perjalanan pulang saya tidak khawatir panas matahari akan membakar kulit karena suasana tetap sejuk, pohon-pohon tropis membentuk kanopi, menghalau sengatan sinar matahari.
Sesampainya di rumah kami beristirahat sebentar, kepala saya pusing karena telinga saya kemasukan air. Saya memutuskan untuk tidur siang sementara teman-teman yang lain mengikuti gawai ngemaik anak ke sungai, sebuah ritual pemberian nama bayi yang dilaksanakan oleh kepala dusun untuk anak bungsunya yang baru lahir dua bulan lalu.
Masyarakat di Silit yakin alam dan manusia memiliki hubungan yang sangat erat. Karena itu alam harus mengenali bayi-bayi yang baru lahir. Seperti yang dijelaskan menteri adat, Paulus Inka, gawai ngemaik anak ke sungai bertujuan untuk mengenalkan sang anak dengan alam sekitarnya. Sungai merupakan lingkungan yang sering didatangi sang anak kelak karena di sanalah dia mandi. Karena itu gana sungai (penunggu sungai) harus mengenalinya.
Ritual ini berlaku untuk semua anak yang lahir di Silit. Sebelum anak berusia lebih dari setahun mereka harus sudah dikenalkan pada alam. Ritual ini dimulai dengan mantra yang dibaca oleh pemimpin ritual. Anak kemudian dibawa turun ke sungai beserta sesajian sebagai persembahan pada puyang gana dan gana sungai, serta buah kelapa yang sudah bertunas yang jadi simbol pelampung bagi sang anak.
Layaknya upacara pembaptisan, kepala sang anak akan diusap dengan air dari sungai. Setelah mantra diucapkan anak bisa dibawa pulang ke rumah, sementara kelapa bertunas yang tadinya digunakan sebagai pelampung harus ditanam oleh orang yang telah ditunjuk. Kelapa ini tidak boleh ditebang kecuali oleh anak itu sendiri.
Kelapa ibaratkan pelampung yang membantu anak mengapung ketika sang anak berada di sungai. Kelapa juga jadi simbol pengharapan agar kehidupan sang anak kelak lurus ibaratkan pohon kelapa, tidak menghadapi banyak persimpangan. Harapan baik ini tidak hanya diberikan pada sang anak, tapi juga pada orang yang menanam kelapa tadi. Begitulah kedekatan masyarakat Silit dengan alam. Mereka sudah menjadi satu kesatuan kosmos.
Ritual pemberian nama itu menjadi acara sakral terakhir yang sempat kami saksikan di Silit. Meski tengkawang sudah mulai berbunga, ritual ngalu antu buah (acara adat untuk menyambut musim buah raya setiap tahunnya) belum juga dilaksanakan. Keesokan harinya rasa haru memenuhi dada kami saat kami pamit pulang setelah menghabiskan tiga hari di dusun ini. Meski berat rasanya untuk berpisah, tapi kami akhirnya saling melepas pelukan. Sebelum matahari meninggi kami sudah beranjak meninggalkan Dusun Silit.
Bagi saya pribadi perjalanan ini ibaratkan perjalanan spiritual. Perjumpaan saya dengan masyarakat Silit yang sederhana dan mandiri menjadi pengalaman yang sangat berkesan. Singkat tapi membekas. Ketika negara cenderung mengukur kemajuan peradaban dengan bangunan yang bertingkat, orang-orang ini justru sangat maju pikirannya melampaui orang-orang yang memiliki deretan gelar akademik.
Mereka tidak memiliki gedung pencakar langit, rumah yang mereka tinggali juga cukup sederhana, pendidikan formal juga tidak tinggi. Tapi mereka sangat mandiri. Saat negara tidak bisa memberi mereka penerangan, mereka membuat PLTMH sendiri. Saat korporasi datang melirik hutan dan sungai di dusun ini, mereka dengan keras menolak. Di Silit yang bagi sebagian orang merupakan perkampungan tertinggal, saya justru melihat masyarakatnya memiliki pikiran yang lebih maju.
Ketika orang-orang berpendidikan yang berpihak pada korporasi datang dan berusaha mengambil sumberdaya komunal yang mereka miliki dan sudah lestarikan turun temurun, orang-orang Silit yang bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mengecap pendidikan tinggi dengan lantang menyuarakan bahwa mereka menolak berbagai upaya penguasaan hutan maupun sungai oleh satu golongan. Orang-orang Silit, mereka adalah orang-orang yang berdaulat, rakyat yang berdiri kokoh dengan semangat kolektif dan kemandiriannya.
Nice,membaca tulisan ini membuat saya rindu menjelajah tempat itu lagi. Thanks😘
ReplyDeleteAyo ke sana lagi 😬
DeleteMantap. Saya beberapa kali lewat wilayah ini bahkan sampai ke perbatasan Sintang-Ketapang tapi belum pernah mampir ke Silit
ReplyDeleteAyo kapan-kapan mampir, bang. Sekalian main ke air terjunnya hehe.
DeleteAku harus main ke Silit nihh suatu saat
ReplyDeleteHarus! ayo pergi, mumpung di Sintang.
Deletecerita yang sangat menghibur, banyak informasi baru yang saya dapat.
ReplyDeletesaya sendiri pernah ke Nanga Silit tahun 2004, masyarakat Dayak yang sangat ramah.
It's been a long time. Kebayang, pasti jalan di masa itu lebih asoy dibanding yang sekarang hahaha. Yuk, bang, nanti mampir lagi ke Dusun Silit :)
Delete