Sudah lama rasanya tidak gathering bersama teman-teman blogger. Kesempatan itu akhirnya datang lagi, aku mengikuti Blogger Gathering #LestarikanCantikmu untuk mengenal sustainable beauty and wellness lebih dalam.
Gathering ini diselenggarakan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Madani Berkelanjutan, dan Blogger Perempuan Network. Lingkar Temu Kabupaten Lestari adalah forum kolaborasi Kabupaten untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Ada beberapa kabupaten tergabung dan Kapuas Hulu salah satunya. Bagaimana upaya kawan-kawan LTKL untuk menyebarkan semangat gotong royong agar pembangunan yang adil dan berkelanjutan terwujud bisa teman-teman lihat di kanal YouTube Lingkar Temu Kabupaten Lestari.
Sementara Madani Berkelanjutan merupakan lembaga nirlaba yang berupaya menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan baik itu pemerintah, swasta, atau masyarakat sipil untuk mencapai solusi inovatif terkait tata kelola hutan dan lahan.
Kedua lembaga ini menggandeng Blogger Perempuan Network (BPN) untuk bekerjasma. BPN ialah jejaring blogger perempuan di Indonesia yang memiiki misi mendukung blogger perempuan Indonesia di ruang digital dan meningkatkan konten mereka ke level selanjutnya.
Peserta gathering adalah 30 blogger terpilih setelah mengikuti kompetensi blog #LestarikanCantikmu bulan lalu. Aku jadi satu di antara peserta terpilih dan tulisanku menjadi juara kedua dalam kompetensi ini. Tulisan yang aku submit kemarin bisa teman-teman baca di sini yah!
Kali ini kami ditemani tiga orang yang menjadi narasumber. Ada Mas @danangwisnu seorang skincare content creator, Kak Gita Syahrani dari @kabupatenlestari dan Kak Christine Pan pendiri @segaranaturals. Dengan latar belakang yang mereka miliki, kami diajak untuk memahami lebih dalam mengenai sustainable beauty and wellness.
Sebelum itu kita perlu tahu bagaimana sejarah kosmetik yang berhubungan juga dengan perawatan kulit. Seorang profesor di Universitas Hungarian, Nora Amberg dalam jurnal ilmiahnya menyinggung sekilas tentang sejarah kosmetik. Dia menuliskan sejarah kosmetik telah dimulai pada zaman Mesir kuno namun penggunaannya lebih pada tujuan kebersihan dan untuk perawatan kesehatan.
Orang Mesir kuno tidak hanya merawat kulit untuk jadi sehat tapi juga melakukan perawatan kulit untuk keperluan ritual mumifikasi dan penguburan. Perawatan ini dilakukan dengan memanfaatkan pengetahuan mereka tentang tumbuhan, minyak, dan senyawa organik.
Seiring perubahan jaman, perawatan kulit kini tidak lagi menggunakan tumbuhan secara langsung. Bahan-bahan harus diolah dulu untuk menjadi produk kesehatan kulit maupun kosmetik.
Di Indonesia, industri kosmetik memiliki panggung yang cukup cerah. Mengutip dari laman kemenprin.go.id, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (2015-2035) menyebutkan bahwa industri farmasi, bahan farmasi dan kosmetik merupakan salah satu sektor andalan yang mendapat prioritas pengembangan dan berperan besar sebagai penggerak utama perekonomian di masa yang akan datang.
Ini terdengar menarik dan bisa saja jadi peluang mengingat Indonesia kaya dengan potensi alam. Namun kita juga harus mempertimbangkan dampak apa yang akan dibawa oleh produk-produk kosmetik ini, tidak hanya dampak secara sosial dan ekonomi tapi juga bagi lingkungan.
Kompas.com menyebut pada tahun 2015 diperkirakan 61 persen kemasan kosmetik dan perawatan kulit terbuat dari plastik, dan pada tahun 2019 produk ini naik sampai 12 persen. Jika produsen maupun konsumen tidak mengenal sustainable beauty and wellness lebih dalam, upaya untuk merawat kesehatan kulit mungkin akan kontradiksi dengan kepedulian pada Bumi.
Sustainable Beauty and Wellness
Konsep sustainable beauty muncul atas respon terhadap sampah plastik dari kemasan kosmetik, hingga bahan kimia yang ikut terbuang dan mencemari kehidupan di laut.
Pada sesi pertama, pemateri mengajak kami untuk memiliki sesuatu yang aku sebut "prinsip berkesadaran". Ini untuk menggambarkan perilaku menggunakan produk atau jasa karena memang membutuhkannya, bukan sekadar impulsif.
Sesi yang dibahas bersama Danang Wisnu, skincare content creator yang juga merupakan seorang dokter gigi ini lebih menekankan perlunya konsumen aware pada kandungan skincare yang digunakan.
Mungkin karena latar belakangnya seorang praktisi kesehatan (walaupun itu kesehatan gigi), mas Danang lebih subjektif ketika bicara tentang manfaat skincare. Tidak ada skincare yang membuat kulit kita sehat dalam waktu singkat, semuanya butuh proses. Bayangin aja mas Danang udah pakai skincare sejak SD. Kalau kamu mau menggunakan skincare kamu harus mengenali kebutuhan kulitmu apa.
Kandungan skincare sendiri bermacam-macam, dan tidak menutup kemungkinan ada yang berbahaya bagi kesehatan maupun lingkungan. Lantas bagaimana mengetahui skincare yang akan kita gunakan itu aman? Caranya dengan melihat kandungan serta sertifikasi produk. Jadi kita memang harus rajin baca kandungan dan teliti ngecek apakah sudah ada sertifikasi produknya atau belum.
Sesi kedua bersama kak Gita, kami diajak mengenali seperti apa sih produk yang ramah lingkungan dan ramah sosial. Berdasarkan riset yang dilakukan LTKL di Indonesia bekerjasama dengan mitra di tiga negara; Korea Selatan, Jepang, dan China, bahan dalam produk menjadi hal utama yang jadi pertimbangan saat konsumen membeli produk. Karena para pembeli ini sudah memiliki perhatian terhadap polusi yang dihasilkan sebuah produk, misalnya apakah produk tersebut mengandung microbeads atau tidak.
Microbeads merupakan partikel yang terdapat pada produk scrub atau exfoliator. Partikel ini sulit terurai ketika telah digunakan dan terbuang di lingkungan, yang justru dapat mencemari dan berpotensi termakan oleh makhluk hidup di laut.
Bahan-bahan yang digunakan oleh produsen bisa saja berbahan lokal. Tapi apakah semua yang berbahan lokal pasti ramah lingkungan? belum tentu. Ada tiga aspek produk ramah lingkungan dan ramah sosial yang harus terpenuhi dalam sebuah produk, yaitu:
- Bahan baku didapatkan dari komoditas yang tetap menjaga fungsi alam tanpa bencana
- Membuat petani, pekebun, atau pekerja sejahtera
- Bertanggungjawab terhadap energi limbah dan produksi
Jika satu saja di antara tiga aspek ini tidak terpenuhi maka produk yang kita gunakan tidak bisa disebut produk yang ramah lingkungan dan ramah sosial. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak, mulai dari hulu ke hilir harus sama-sama konsisten mewujudan kelestarian dan keadilan.
Jadi udah kebayang kan, kalau mau menerapkan sustainable beauty and wellness kita memang harus selektif dalam memilih produk. Karena produk yang kita konsumsi memiliki cerita di baliknya. Ada tempat di mana komoditas itu berasal, ada orang-orang yang bekerja untuk mengolah komoditas tersebut atau membuat produk tersebut, dan ada perusahan yang memproduksinya. Sebagai konsumen yang bertanggung jawab kita harus mengetahui benang merahnya.
Nah, aku sebenarnya penasaran di Indonesia berapa banyak sih produsen yang sudah memenuhi aspek ramah lingkungan dan ramah sosial.
Meski tidak mendapat informasi tentang hal ini, setidaknya pada sesi ketiga bersama kak Christine Pan aku mulai mendapat jawaban yang kucari. Di Segara Naturals kak Christine dan tim melakukan penjajakan yang dalam dengan calon mitra sebelum memutuskan mengambil bahan baku dari mereka.
Segara Naturals konsisten menggunakan bahan-bahan alami untuk produk perawatan kulit. Mereka tidak menggunakan minyak sawit karena tata kelola komoditas ini seringkali bertentangan dengan prinsip lingkungan dan sosial. Tapi aku perlu tekankan, yang dikritik itu bukan komoditasnya ya tapi tata kelola komoditasnya.
Kemasan produk Segara Naturals juga tidak menggunakan plastik. Menariknya, Kak Christine punya pengalaman pribadi saat bicara tentang sampah plastik. Kecintaannya pada dunia travelling membuatnya menjelajahi banyak daerah. Di tempat-tempat yang dia datangi di Indonesia, dia melihat persoalan sampah plastik.
Dalam hati dia merasa sedih, orang-orang di luar negeri mengenal Indonesia sebagai negara yang hijau dan asri, padahal kenyataannya kita sedang menghadapi permasalahan sampah plastik yang tak terkontrol. Sampah-sampah ini menumpuk, tidak hanya tak elok dipandang mata tapi bisa berbahaya bagi kehidupan di laut.
Sejak menyadari isu polusi plastik itu dia lalu bertekad melakukan perubahan kecil untuk mengurangi penggunaan plastik atau kemasan sekali pakai. Ketika dia membuat produk kecantikan, dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Segara Naturals dikemas dengan kemasan aluminium tin yang bisa dipakai ulang.
Aku angkat dua jempol untuk produsen-produsen yang sudah menerapkan prinsip ramah lingkungan dan sosial, tepuk tangan juga untuk orang-orang yang sudah mulai selektif dalam memilih produk.
Kalau kita ingin cantik (sesuai dengan versi masing-masing ya), kita juga harus bertanggung jawab terhadap produk yang kita pilih. Jangan sampai keinginan kita untuk tampil cantik membuat empati kita tehadap lingkungan dan sosial jadi tipis.
Lalu apa yang perlu kamu lakukan ketika ingin menerapkan konsep sustainable beauty and wellness? coba perhatikan gambar di bawah ini.
Tiap kali hendak membeli produk kosmetik biasakan baca label, kenali bahan, pahami komoditas asli, apa dampaknya, pilih yang lestari, dan jangan lupa bagikan cerita kamu pada yang lain.
Menjadi konsumen yang bijak dan bertanggungjawab pada apa yang kita konsumsi. Karena barang yang kita beli memiliki cerita di baliknya. Begitulah pengalaman gathering kali ini. Aku bukan skincare enthusiast, tapi hal-hal yang beririsan dengan lingkungan dan lokalitas selalu menyenangkan untuk dipelajari.
Untuk menutup tulisan ini aku ingin menyimpulkan apa yang sudah kudapat dengan sebuah quotes, Ketika kita ingin menikmati keindahan, kita juga harus berkenan menjaga dan merawatnya. Karena bukan hanya kecantikanmu yang perlu dirawat, tapi juga Bumi ini.
Kalian bisa mengikuti perjalananku untuk memahami isu lingkungan dengan membaca tulisan-tulisanku yang lain. Cek tagar #EcoBloggerSquad #EBS2021 atau klik Lingkungan di bagian menu. Sampai jumpa!
Iya aku baru tahu microbead ini berbahaya ya bagi lingkungan
ReplyDeleteIyaah, kak :')
Delete