Sudah lama tidak membagikan sesuatu di sini karena belakangan sedang sibuk keluar masuk blank spot area alias wilayah tak bersinyal. Kali ini saya ingin membagikan pengalaman saya saat mengunjungi petani sawit mandiri di Kabupaten Sintang, tepatnya di Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian.
Sebuah perjalanan berkesan yang membuka lebar mata saya tentang komoditas kelapa sawit. Membuat saya tahu betapa beragamnya kondisi yang dialami petani sawit di lapangan. Sebelumnya saya hanya memiliki pemahaman sederhana bahwa sawit membawa kerugian bagi masyarakat kecil. Tapi kunjungan ke Merarai dan perjumpaan dengan petani sawit mandiri di sana membawa saya pada sudut pandang yang lain.
Kami bertemu petani plasma dan petani mandiri. Petani plasma muncul karena perusahaan melibatkan masyarakat lokal dalam perkebunan yang dibangunnya dan menerapkan pola pembagian hasil di dalamnya. Hal ini diatur dalam UU No 98 tahun 2013 yang mewajibkan perusahaan perkebunan kelapa sawit memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20% dari izin usaha yang diberikan. Jenis kedua adalah petani kelapa sawit mandiri atau swadaya, yaitu petani sawit yang tidak melibatkan pihak lain selain petani itu sendiri.
Petani-petani yang berinteraksi dengan saya selama berhari-hari adalah para petani kelapa sawit mandiri yang berkebun di tanah sendiri, tanpa komando dari perusahaan. Dengan perlakuan yang juga jauh berbeda dibanding perusahaan. Petani-petani ini membentuk kelompok tani dan bergabung dalam sebuah koperasi produksi yang dinamai Rimba Harapan.
Mereka menerapkan praktik perkebunan yang baik (good agricultural practice). Biasanya petani senang menggunakan pestisida, di sini penggunaannya justru dibatasi. Menurut pak Suratno Warsito, petani sekaligus ketua koperasi, penggunaan pestisida yang berlebihan justru mengurangi kualitas tanah. Mereka melakukan pembersihan lahan tanpa membakar dan menerapkan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Cara kerja yang dianggap gila oleh kebanyakan orang, karena sekarang orang senang yang praktis dan cepat.
Di kebun sawit yang sudah tua, ya gak ada tumpang sarinya di sini gaes wkwk |
Pupuk yang mereka gunakan juga bukan 100% kimia, melainkan 60%kimia dan 40% organik. Bagaimana membuat pupuk organik? mereka memiliki banyak akal untuk membuatnya, memanfaatkan bahan-bahan dari alam di sekitar mereka. Di Rimba Harapan, seorang petani bisa jadi pelatih bagi petani lainnya. Mereka tidak malas belajar, ketika mendapat ilmu baru langsung dibagikan dan diparktikkan bersama. Makanya saya salut dengan mental mereka, meski tingkat pendidikan mereka rendah tapi mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang bidang yang mereka geluti.
Para petani kelapa sawit swadaya ini merupakan petani yang bekerja sendiri, kelapa sawit jadi komoditas utama penopang ekonomi keluarga. Tapi belakangan kita semua tahu betapa rendahnya nilai komoditas ini. Beruntungnya petani sawit mandiri di Koperasi Rimba Harapan menerapkan sistem tumpang sari dalam berkebun sawit. Sebelum berusia 5 tahun, pohon-pohon sawit belum besar jadi di sela-selanya bisa ditanami aneka sayur dan buah-buahan. Ini menjadi keuntungan tambahan bagi mereka.
"Anggota koperasi kita ada yang jadi pengusaha semangka dengan memanfaatkan sistem tumpang sari ini," ucap pak Suratno dengan wajah gembira saat kami mengobrol sambil melihat-lihat kebun sawit yang ditumpang sari dengan sayur-sayuran. Tata kelola kebun seperti ini menurutnya bisa membantu petani bertahan hingga masa panen tiba.
"Kuncinya adalah gigih berusaha, karena kita ini darahnya darah petani ya sehari-hari bertani. Tani sayur, buah, hasilnya kita jual," paparnya.
Saya juga salut dengan kesadaran pak Suratno untuk menjaga keseimbangan alam. Dia menghibahkan tanah seluas tiga hektar lebih miliknya untuk dijadikan rumah bagi satwa liar di sekitar desanya. Tanah tersebut tidak dikelola sama sekali hingga habitat di sana tidak terganggu. Di kawasan hutan milik pak Suratno ini ditemukan 80 jenis tumbuhan dari 50 famili dan dua jenis belum diketahui identitasnya sementara itu jumlah satwa tercatat 27 jenis dari 18 famili.
"Saya ingin memastikan bahwa kelapa sawit juga bisa jadi perkebunan yang lestari, berkelanjutan" ujarnya. Kalimat yang saya amini karena saya menyaksikan sendiri lestarinya cara bercocok tanam mereka. Lahan mereka tidak ada yang berada di kawasan NKT (Nilai Konservasi Tinggi). Saat ada petani yang ingin bergabung di koperasi maka harus dicek dulu lokasi kebunnya, apakah berada di kawasan hutan atau tidak, karena yang boleh digarap hanyalah lahan di kawasan APL, cara pembukaan lahan juga dipastikan tidak dengan cara dibakar.
Tentu saja tidak mudah menemukan petani-petani sawit dengan perspektif lingkungan seperti yang saya temui di Rimba Harapan. Mereka sudah melewati banyak hal. Mereka juga sudah menyerap banyak pengetahuan dan mempraktikkannya di lapangan dengan dampingan lembaga. Tahun ini target mereka adalah mendapatkan sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) semangat mereka bisa saya lihat dari wajah-wajah sumringah yang saya temui saat itu.
"Petani sawit juga harus maju, mbak," begitu kalimat pak Suratno saat kami mengobrol tentang sertifikasi RSPO. Saya yang tidak begitu familiar dengan istilah-istilah di industri kelapa sawit jadi banyak belajar dari mereka. Di Kalimantan Barat belum ada petani sawit mandiri yang memperoleh RSPO. Saya juga baru tahu ternyata komoditi pertanian harus memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Kalau tidak punya, para petani ini akan kesulitan mengakses permodalan.
Berfoto bersama petani-petani sawit mandiri yang selalu gembira saat bekerja. |
Semoga semangat pak Warsito dan petani-petani sawit mandiri di Rimba Harapan jadi semangat baik bagi petani-petani sawit lainnya. Cara mereka memperlakukan lingkungan dengan arif semoga jadi penyadartahuan bagi petani sawit lain agar memperaktikkan tata kelola kebun sawit yang berkelanjutan. Kalau petani kecil saja bisa bertanggungjawab terhadap lingkungan, masa sekelas perusahaan tidak bisa.
Comments
Post a Comment