Di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah jadi bencana tahunan yang tidak hanya merugikan masyarakat Indonesia sendiri, tapi juga membuat panas hubungan diplomatik dengan negara tetangga. Deforestasi juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan, bukan hanya soal pernapasan tapi juga wabah yang disebabkan oleh hewan (zoonotic disease). Semakin tinggi deforestasi, semakin besar kemungkinan kita tertular zoonotic disease.
Deforestasi dan zoonotic disease ini jadi dua topik panas yang kami bahas di Eco blogger squad gathering untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 7 April. Topik Karhutla dibawakan oleh Dedy Sukmara, Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara. Sedangkan materi zoonotic disease disampaikan oleh Dokter Alvi Muldani, Direktur Klinik Alam Sehat Lestari (Yayasan ASRI).
Auriga Nusantara merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam upaya pengelolaan SDA dan lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Sementara Klinik Alam Lestari adalah klinik yang sejak 2007 hadir di tengah masyarakat kabupaten Ketapang agar masyarakat sekitar hutan tak perlu memilih antara kesehatan atau melestarikan alam. Ini adalah satu-satunya klinik di Indonesia atau mungkin dunia yang menerima pembayaran berupa bibit tanaman.
Dedy Sukmara memaparkan fakta aktual terkait Karhutla yang menjadikan Indonesia sebagai penyumbang kenaikan emisi karbon secara signifikan. Bayangkan, tahun 2019 lalu karhutla melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca. Jumlah ini hampir dua kali lipat lebih besar dibanding kebakaran di sebagian Amazon, Brazil (CAMS, 2019).
Aku pernah punya pengalaman buruk terkait bencana karhutla tahun 2015. Saat itu aku di Pontianak, kampus diliburkan hingga dua minggu, penerbangan sempat ditutup, rumah sakit kebanjiran, bukan oleh air tapi penderita ISPA. Saat pagi tiba kota Pontianak seperti ditelan asap, bahkan siang hari matahari tak terlihat. Yang aku ingat adalah rasa mencekam dan takut luar biasa, bahkan untuk bernapas rasanya was-was.
Tahun-tahun berikutnya bencana asap tetap ada tapi memoriku lekat merekam pengalaman tahun 2015. Tahun 2018 aku dan teman-temanku juga ingat pernah menggelar lapak buku di depan tugu Bambu Runcing saat kabut tebal dan abu bertebaran di udara, terjatuh di atas buku-buku kami. Dari masa aku kuliah hingga bekerja, kabut asap di Pontianak sudah jadi musim tahunan. Kadang aku bertanya, jika sudah menikah dan punya anak apakah anakku masih mengalami hal yang sama nantinya.
Karhutla tidak hanya mengganggu aktivitas harian seperti yang aku sebut di atas, tapi juga berdampak pada biodiversitas, pemanasan global, dan perubahan iklim. Auriga mencatat kerugian Indonesia akibat karhutla sepanjang 2019 mencapai US$ 5,2 miliar atau setara Rp72,95 Triliun.
Karena setiap tahun terjadi karhutla, harusnya antisipasi dan mitigasi sudah bukan hal baru bagi pemerintah. Tapi kenyataannya ada juga yang salah sasaran, misalnya menyalahkan peladang tradisional sebagai dalang asap. Padahal menurut Dedy Sukmara, hasil pengamatan menunjukkan lahan yang terbakar akan ditanami dengan tanaman industri ekstraktif beberapa tahun kemudian. Ibarat kata ini adalah upaya pembersihan lahan.
Pada tahun 2001-2019, dapur asap bersumber dari lahan gambut di Kalteng, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua. Lima tahun terakhir lonjakan laju deforestasi terjadi di Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Papua. Kalau diperhatikan deforestasi Indonesia menyasar provinsi kaya hutan. Mungkin karena luas hutan di dapur lama sudah semakin berkurang, kini ekspansi beralih ke daerah-daerah hijau yang masih tersisa.
Jika antisipasi dan mitigasi masih terus salah sasaran, siap-siap mengulang hal sama setiap tahunnya. Lantas kita bisa apa? Auriga memberi setidaknya enam rekomendasi untuk memutus rantai karhutla, yaitu:
Memperluas moratorium hutan dan gambut
Meningkatkan penegakan hukum
Restorasi hutan dan gambut terdegradasi
Mendukung komunitas pemadam kebakaran dan kapabilitas pemantauan
Mendukung infrastruktur hidrologis dan mendorong kapasitas respon dini
Memberi insentif ekonomi untuk tidak membakar.
Apa enam hal ini terasa berat? Jika ingin yang sederhana dan mudah dilakukan, kamu bisa melakukan disiplin untuk dirimu sendiri. Misalnya berkomitmen untuk hanya mengonsumsi green product, mendukung perusahaan yang berkeadilan dalam proses produksinya. Adil tak hanya pada alam tapi juga manusia, ingat kan prinsip produk hijau yang pernah kita bahas sebelumnya.
Karena apa yang kita konsumsi ternyata tak hanya berhubungan dengan tubuh kita, tapi juga terkait dengan lingkungan sosial dan keseimbangan alam. Bahkan antara deforestasi dan pandemi punya benang merah, lho. Jadi selalu ada kaitan antara manusia dan alam, seperti yang disampaikan dr Alvi di sesi sharing berikutnya.
Dalam penjelasannya, dia menyampaikan bagaimana penyakit zoonosis muncul karena deforestasi. Saat deforestasi terjadi, beberapa spesies menurun namun ada juga yang beradaptasi. Spesies yang beradaptasi inilah yang meningkatkan risiko zoonosis. Dengan bukti yang ada, manusia perlu menyeimbangkan produksi makanan, dan menjaga hutan. Karena dengan terjaganya hutan berarti habitat hewan liar ini tak terganggu. Mereka bisa tetap berada di dalamnya sehingga tidak menyebarkan pantogennya.
Pantogen adalah bakteri yang tidak berakibat negatif bagi hewan, tapi dapat menyebabkan penyakit berbahaya bagi manusia. Contohnya virus nipah, yellow fever, malaria, dan ebola. Empat wabah ini muncul karena habitat yang terfragmentasi.
Virus nipah misalnya yang mincul awal 1998, virus ini berasal dari air lir kalelawar buah yang hidup di kawasan Asia Tenggara. Di Malaysia, wabah ini muncul akibat kabut tebal dari deforestasi yang disebabkan ladang berpindah. Kabut ini mengganggu habitat kalelawar buah.
Sementara di Bangladesh, wabah timbul dari konsumsi buah yang terkontaminasi liur dan kencing kelelawar. Ada juga wabah yellow fever yang disebabkan virus di tubuh primata lalu ditransmisikan oleh nyamuk. Tahun 2016 dan 2018 wabah ini menyerang Amerika Selatan. Dari 2000 kasus, ratusan meninggal. Berdasarkan penelitian ini diakibatkan habitat yang menyempit.
Saat habitat terganggu, hewan-hewan liar akan mencari makanan ke permukiman warga. Jika kontak dengan hewan liar semakin sering terjadi, resiko penularan penyakit dari hewan ke manusia juga semakin besar.
Kontak yang dimaksud bukan berarti kita menyentuh langsung hewan-hewan ini, tapi bisa saja lewat gigitan nyamuk bahkan makanan yang kita konsumsi. Makanya ada treatment khusus untuk makanan yang bersumber dari hewan liar. Ketika akan mengonsumsinya pastikan dagingnya dibersihkan sebaik mungkin dan saat dimasak harus benar-benar matang.
Jadi ketika bicara tentang upaya menjaga hutan kita itu sebenarnya sedang membicarakan upaya untuk menjaga diri sendiri. Salah satu yang memungkinkan untuk dilakukan adalah mengubah pola konsumsi. Mungkin inilah sebenar-benarnya revolusi, dimulai dari makanan yang kita konsumsi. Berhenti mengonsumsi minyak goreng dari perusahaan sawit penyebab karhutla misalnya. Kamu bisa cari tahu perusahaan mana saja yang tidak fair.
Antara karhutla dan deforestasi adalah lingkaran yang tak pernah berkesudahan. Kita jangan sampai mati terpanggang di atas lahan sendiri demi memenuhi target industri ekstraktif oleh dunia, seperti tikus yang mati karena libidonya sendiri.
Kalian bisa mengikuti perjalananku untuk memahami isu lingkungan dengan membaca tulisan-tulisanku yang lain. Cek tagar #EcoBloggerSquad #EBS2021 atau klik Lingkungan di bagian menu. Sampai jumpa!
Comments
Post a Comment