Blog Archive

Popular Posts

Halaman

About

Blogroll

Postingan Populer

Skip to main content

Plastik dan Budaya Kita

foto: teamupforimpact.org

Supaya konsisten dengan tekad mengubah gaya hidup lebih ramah lingkungan, tahun 2022 akhirnya aku memilih untuk ikutan challenges di teamupforimpact.org. Di sini peserta diajak melakukan hal-hal sederhana untuk lingkungan. Kali ini aku memilih tantangan tidak membeli makanan atau minuman dalam kemasan. Dan aku ingin cerita tentang alasanku memilih tantangan ini.

Plastik di Sekitar Kita

foto: Merdeka.com/Ivu Fajar

Sejak kecil kita sudah terbiasa disodori kantong plastik ketika berbelanja, mata kita juga akrab dengan sampah plastik yang berserakan begitu saja bahkan kadang berbentuk gundukan warna warni di tempat pembuangan sampah pinggiran kota. Ketika dewasa kita mulai sering mendengar berita banjir karena parit dan selokan tak berfungsi akibat sumbatan sampah plastik, atau sungai dan laut yang tercemar oleh plastik sehingga mengancam ekosistem di sana, bahkan sampah plastik berdampak terhadap perubahan iklim.

Mengutip pernyataan dari situs resmi Kementrian Lingkungan Hidup “Kantong plastik adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim. Karena sejak proses produksi hingga tahap pembuangan dan pengelolaan, sampah plastik mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer.”

Meski demikian kantong plastik tetap digemari, karena tidak hanya praktis namun juga terjangkau oleh masyarakat. Tapi segala sesuatu memang harus seimbang ya, termasuk ketika menggunakan plastik. Saat ini pembuangan dan pengelolaan plastik membuat banyak orang khawatir.

Ingatkah kamu dengan paus mati yang tedampar di Wakatobi dan di dalam perutnya terdapat sampah plastik? Kasus ini hanya satu di antara sekian banyak kejadian yang seharusnya bisa jadi trigger agar kita lebih bijaksana ketika mengelola sampah plastik. 

Tahun 2021 CNN Indonesia memuat berita tentang sampah nasional yang mencapai 68,5 juta ton, di mana 17 persen atau sekitar 11,6 juta ton disumbang oleh sampah plastik. Penimbunan sampah plastik ini terus meningkat sejak tahun 2010. Dan menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup yang ingin praktis. 

Plastik yang dulunya diciptakan karena keprihatinan terhadap lingkungan justru menjelma jadi momok menakutkan bagi planet ini. Dan kita tak bisa lepas tangan begitu saja. Di tempat perbelanjaan, kantong plastik berpindah tangan dengan cepat dari penjual ke pembeli dan bisa berakhir di mana saja, entah di pinggir jalan, selokan, atau di leher penyu. 

Sebagai konsumen kita bisa memulai kebiasaan sederhana untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Misalnya dengan membawa tempat makan dan botol minum sendiri saat jajan, menggunakan tas belanja sendiri, dan menggunakan sedotan bambu atau sedotan stainless. Apakah ini akan mengurangi sampah plastik? Tentu iya jika dilakukan bersama-sama. Apakah ini mudah untuk dilakukan? Tentu tidak, karena namanya juga memulai kebiasaan baru.

Kearifan Lokal dalam Mengurangi Sampah Plastik

foto: Instagram @rumahjambee


Karena aku mengikuti tantangan untuk tidak membeli makanan atau minuman dalam kemasan aku jadi tertarik untuk mencoba cara yang sering dilakukan nenek ketika membawa bekal ke ladang. Aku memilih menggunakan pelepah pinang sebagai wadah makananku.

Di tempatku ada sungai yang menyenangkan untuk dikunjungi, yaitu Sungai Embaloh. Tempatnya tenang, air jernih mengalir, sungai panjang membentang dengan hamparan batu yang berwarna kelabu maupun oranye. Aku lumayan sering pergi ke sini, sendiri atau beramai-ramai. 

Dari sungai ini juga peradaban kami dibangun, sebagai orang yang bersuku Tamambaloh aku sangat menghargai sungai ini. Karena itu sebisa mungkin aku tidak ingin meninggalkan jejak sampah saat berkunjung. Kali ini aku membawa wadah makanan dari pelepah pinang dan botol air untuk menyimpan minumanku.

Pelepah pinang adalah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat nusantara. Sejak dulu nenek moyang kita membawa bekal dengan pelepah pinang yang telah dikeringkan dan dikupas kulitnya. Tekstur kulit pelepah pinang tidak tembus air dan mampu menahan makanan tetap hangat untuk waktu yang lama. 
Dari sisi kesehatan, pembungkus makanan dari pelepah pinang lebih aman dibanding stirofoam yang mengandung zat stirena, zat ini berbahaya bagi kesehatan. Dari segi lingkungan, pelepah pinang juga lebih aman karena bisa terurai. Berbeda dengan plastik yang memerlukan waktu hingga 1000 tahun (tergantung jenis plastik) untuk terurai dan stirofoam yang tidak bisa terurai secara alami.

Aku merasa kalau budaya yang kita miliki sebenarnya sudah mengandung prinsip-prinsip ramah lingkungan. Membawa bekal dengan wadah makanan dari pelepah pinang atau air di dalam tabung bambu hingga membawa sendiri keranjang saat berbelanja ke pasar. Gaya hidup yang dipandang kolot dan kampungan itu sebenarnya jauh lebih bijaksana dibanding budaya hidup modern yang serba praktis dan cepat berubah, yang membuat manusia jadi konsumtif. Lantas masihkan kita bertanya-tanya darimana lahirnya budaya menghasilkan sampah ini. 

Ini membuatku teringat pada ucapan seseorang yang aku wawancara bulan Januari lalu. Budaya bukanlah sesuatu yang beku, budaya itu cair, dari masa lalu bisa dibawa ke masa depan. Dalam konteks gaya hidup dan lingkungan, kita mungkin perlu menyelami lebih dalam budaya kita dan membawa nilai-nilai yang perlu untuk masa ini dan masa yang akan datang.  

Pada akhirnya pilihan untuk menjalani hidup tergantung pada masing-masing manusia. Kita yang sama-sama berada di bawah langit ini memiliki kesempatan hidup yang sama, hanya satu kali. Bagaimana kita akan menggunakan kesempatan ini?

Tantangan dari teamupforimpact.org yang aku pilih kali ini membawa refleksi yang amat dalam tentang gaya hidup dan budaya yang membentukku hingga hari ini. Plastik hadir di kehidupan kita dalam berbagai rupa, jadi tidak mungkin menghapuskan semua penggunaannya. Yang bisa kita lakukan adalah membatasi dan memilih. Kamu mungkin punya cara lain untuk mengurangi penggunaan plastik, ceritakan di kolom komentar ya!

Kalian bisa mengikuti perjalananku untuk memahami isu lingkungan dengan membaca tulisan-tulisanku yang lain. Cek tagar #EcoBloggerSquad #EBS2021 atau klik Lingkungan di bagian menu. Sampai jumpa!
Thank you for visiting my blog

Comments

  1. semoga kita bukan cuma sekali dua kali ya kak. semoga menjadi tantangan dan perbaikan bagi kita hingga kemudian hari

    ReplyDelete
  2. Keren mbak. Kelihatannya kecil, tetapi tantangan itu besar sekali karena berkaitan dengan perubahan mindset.

    Mindset masyarakat zaman "modern" seperti sekarang selalu menekankan pada sisi kepraktisan. Tidak ada yang mau "repot" dan berkorban. Bahkan, meski banyak yang sudah menyadari bahwa plastik membawa keburukan bagi lingkungan, banyak yang tidak mau mengorbankan kenyamanannya dan sedikit repot.

    Makanya, perjuangan untuk mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari hari itu susahnya luar biasa karena menyentuh langsung zona nyaman masyarakat.

    Namun, suka atau tidak suka, tetap harus diperjuangkan dan diupayakan. Meski tidak akan terasa hasilnya, tetapi perlahan tapi pasti, perubahan mindset itu akan hadir. Yang penting sekarang adalah mencoba melakukan sesuatu, seberapapun kecilnya akan tetap memberi pengaruh bagi kehidupan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kita mulai dari diri sendiri dulu kemudian ke lingkungan terdekat, syukur-syukur kalau bisa berpengaruh terhadap masyarakat luas. Semangat!

      Delete

Post a Comment