Dia sangat ringan, riang dalam wujud tangis. Dia bebas melangkah ke mana saja, ke satu pijakan menuju pijakan yang lain, ke satu alasan berpindah ke alasan lain.
Kadang hadir hanya karena perihal kecil, sebuah pesan yang terasa lama tidak dibalas misalnya, atau karena janji yang hanyalah tinggal janji.
Dia juga menghilang begitu saja, kadang tanpa meninggalkan jejak tapi sebagian lagi meninggalkan bekas yang disebut luka. Ah tentang itu aku tak begitu paham, yang ku tahu amarahku datang tiba-tiba dan pergi tanpa bekas, semoga tidak pernah berbekas, kemudian kembali lagi, seperti itu seterusnya.
Pernah dia datang sewaktu tawa baru saja berhenti mendendangkan lagu manisnya di bibirku, dia datang begitu saja, dan aku selalu merangkulnya dalam rupa tangis. Memeluk kecewa yang dibawanya erat-erat, mencoba menahannya agar tidak beringas. Aku selalu bersabar saat ia datang dengan sebuah bara yang sangat panas, aku selalu menahannya, membendungnya dalam tangisan, aku tak pernah berani membiarkannya bebas menunjukkan rupa yang sebenarnya.
Ia juga pernah mampir sewaktu hatiku masih hangat oleh perasaan rindu, dia singgah dan baru saja hendak meracau saat sebuah pelukan menenangkannya. Kadang sesederhana itu untuk menghilangkannya tanpa bekas. Tapi kadang perlu maaf berulang dan sebuah bujukan kekanak-kanakkan untuk menjadikannya teman dan perlahan membiarkannya pergi. Karena Amarah tak pernah tahan berdiam diri terlalu lama pada pikiran yang tenang. Amarah tidak menakutkan saat kita hanya membiarkannya menjadi air mata, dia tidak akan menyakiti jika kita tidak membebaskannya begitu saja. Bahkan kadang aku merasa dia adalah teman yang setia. Air mata itu.