Beberapa tahun yang lalu aku pernah terlibat obrolan dengan seorang perempuan Eropa. Dia sedang dalam perjalanan menuju Sungai Utik, sebuah dusun di Embaloh Hulu yang mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat.
Ada satu kalimat darinya yang tersisa setelah obrolan singkat itu. "Aku merasa tidak terhubung dengan alam, itu membuatku semakin hari semakin tidak bahagia," itu yang dia ungkapkan saat aku penasaran mengapa dia mau jauh-jauh datang melintasi benua.
Meski ukuran kebahagiaan orang berbeda-beda, tapi sebagai orang yang tinggal di kawasan yang masih hijau aku merasakan kehidupan jauh lebih mudah dan itu membuat bahagia. Pangan tak perlu beli karena bisa menanamnya sendiri, atau kalau rajin meramu kita bisa mendapatkan beragam pangan hutan.
Kami masih merasakan air sungai jernih dan udara segar, walaupun sekarang air di tempatku sering keruh ketika hujan. Nenek dan kakekku sering cerita dulu air sungai kami sangat jernih, sampai-sampai bisa diminum tanpa perlu dimasak. Meski saat ini kondisi lingkungan mengalami penurunan kualitas akibat ilegal logging awal tahun 2000-an silam, aku tetap bersyukur setidaknya sungai Tamambalo masih jernih di hari-hari cerah.
Di bulan-bulan tertentu kampungku melaksanakan panen ikan tapah - jenis ikan predator air tawar - yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh warga. Hasilnya juga dibagi bersama. Kebutuhan protein masih terpenuhi oleh sungai dan hutan yang tetap dijaga. Manfaat ini bisa dirasakan oleh seluruh warga di kampung.
Yuyun Harmono manajer kampanye WALHI menyebut hal ini sebagai co-benefits dari upaya menjaga kelestarian hutan. Saat menjadi narasumber dalam kegiatan Eco Blogger Squad Earth Day Gathering untuk memperingati Hari Bumi. Selain WALHI, ada juga Gita Syahrani, kepala sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari, dan Cristian Natalie, program manager di hutanitu.id. Ketiga lembaga ini bekerjasama dengan Blogger Perempuan Network untuk berbagi pengetahuan mengenai hutan Indonesia sebagai solusi dalam mitigasi perubahan iklim.
Manajer kampanye WALHI ini bercerita tentang komunitas adat Seberuang di Dusun Silit, sebuah dusun yang berada di pedalaman Sintang. Komunitas ini berusaha mandiri dengan memanfaatkan hutan. Aku juga pernah menulis tentang Dusun Silit sekitar tiga tahun yang lalu. Tulisannya bisa teman-teman baca di sini.
Saat ini warga Silit sedang berusaha mendapatkan pengakuan hutan adat dari negara. Masyarakat di sini menjaga hutan sehingga ketersediaan pangan dan air mereka juga aman. Ini membuat kebutuhan energi listrik terpenuhi karena mereka menggunakan PLTA. Teknologi yang digunakan sangat sederhana sehingga mereka tidak tergantung pada teknisi di kota ketika ada kerusakan.
Pemanfaatan energi terbarukan seperti listrik dari tenaga air bisa jadi solusi untuk permasalahan iklim yang kita hadapi. Hah, kenapa jadi bicara iklim? hmmm benang merahnya begini.
Tren bencana sepanjang 2009-2019 menunjukkan 6 dari 10 bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana yang dipengaruhi oleh perubahan iklim (bencana hidrometeorologi) misalnya banjir, tanah longsor, atau puting beliung. Selama sepuluh tahun bencana ini terus meningkat.
Berdasarkan data yang dipaparkan Yuyun Harmono, kebiasaan manusia juga berkontribusi pada meningkatnya krisis iklim. Terutama dari sektor berbasis lahan dan sektor energi. Tahun 2020 sektor berbasis lahan menempati urutan pertama untuk penyumbang emisi gas rumah kaca. Namun tahun 2017 justru yang semakin meningkat adalah sektor energi. Diprediksi 10 tahun lagi sektor energi akan jadi kontributor emisi terbesar.
Harus ada kebijakan dari pemerintah untuk menekan laju emisi yang dikeluarkan oleh sektor energi maupun yang berbasis lahan. Saat bicara "menekan laju emisi" bukan berarti kita langsung berhenti menggunakan energi dalam keseharian kita.
WALHI menawarkan prinsip Energi Berkeadilan, yaitu:
1. Menyediakan akses energi untuk semua sebagai hak dasar manusia
2. Aman terhadap iklim dan berdasarkan pada teknologi yang tersedia di lokal dan berdampak rendah
3. Di bawah kontrol langsung oleh publik dan diatur untuk kepentingan publik
4. Memastikan hak-hak pekerja sektor energi
5. Memastikan hak free, prior and informed consent bagi masyarakat yang terkena dampak
6. Berskala kecil dan terdesentralisasi
7. Memastikan penggunaan energi yang adil dan seimbang serta meminimalkan limbah energi.
Kenyataan saat ini masih banyak daerah-daerah pelosok yang belum mendapat akses energi. Pada tahun 2018, sebanyak 5,2 juta penduduk Indonesia belum dapat listrik. Sementara itu ada daerah yang teraliri energi berlebih. Apakah itu adil?
Yuyun Harmono menegaskan, untuk mengakses sumber energi tanpa memperparah krisis iklim, pemerintah perlu secepatnya melakukan transisi. Tapi tentu saja tetap berkeadilan, transisi berkeadilan berarti tidak meninggalkan aspek buruh dan pekerjaan yang layak juga menjamin kedaulatan pangan dan melindungi hutan serta keanekaragaman hayati.
Apa ini terdengar berat? Saatnya mengeluarkan kalimat andalan Sisca Kohl "Mari kita coba!!!". Contoh kecil bagaimana energi berkeadilan bisa terwujud bisa dilihat di Dusun Silit. Di mana keadilan energi terwujud lewat pengelolaan hutan yang diberikan kepada masyarakat sekitar kawasan hutan langsung.
Hutan lestari menjamin ketersediaan air yang menjadi sumber energi masyarakat. Hutan juga jadi sumber pangan, masyarakat Silit juga mempraktikkan pertanian tradisional skala kecil, dan mereka juga menerapkan sistem perekonomian berbasis rakyat bantu rakyat lewat Credit Union.
Apa yang ada di Silit mungkin bisa diadopsi oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Mitigasi krisis iklim bisa dilakukan dengan menjaga hutan tetap lestari. Ini bukan tugas segelintir orang saja, kita tidak bisa hanya membebankannya pada pemerintah, masyarakat adat, atau aktivis lingkungan. Ini adalah kerjasama semua orang di Bumi. Bicara tentang Bumi, sebentar lagi Hari Bumi lho! tepatnya pada tanggal 22 April nanti.
sumber: whatsupmag.com
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sejarah Hari Bumi bermula dari gerakan akar rumput yang dilakukan oleh akademisi lingkungan di Amerika Serikat yang bernama Gaylord Nelson pada tahun 1970 sebagai respon akibat tumpahan minyak besar-besaran di Santa Barbara, California. Sekarang perayaan ini digelar tingkat dunia.Tapi sebenarnya perayaan Hari Bumi adalah perayaan untuk menyelamatkan manusia itu sendiri, seperti yang Gita Syahrani sampaikan pada sesi kedua dalam kegiatan ini. Seperti biasa, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) ini tidak bosan-bosannya mengingatkan semangat gotong royong agar pembangunan yang adil dan berkelanjutan bisa terwujud di Indonesia.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Indonesia punya pendekatan ekonomi yang harusnya menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan perlindungan lingkungan. Tapi sebagus apapun visi ekonomi kita kalau tanah, air, dan udara sudah tidak sehat, visi itu akan sulit tercapai. Sama seperti tubuh kita, mau sebanyak apapun uang yang kita miliki kalau kita tidak sehat maka kualitas hidup kita juga akan buruk.
Kita bisa saling jaga dengan cara mendukung upaya untuk mempertahankan keberadaan hutan. Terlibat langsung dengan masyarakat sekitar hutan mungkin terdengar sulit bagi kawan-kawan yang di kota. Nah, kawan-kawan bisa tetap terhubung dengan hutan dan kita bisa saling bantu dengan cara membeli produk lokal, tapi produk lokal yang ramah lingkungan dan ramah sosial ya.
Ini juga bisa membantu perekonomian masyarakat sekitar hutan lho. Karena masyarakat sekitar hutan juga punya impian untuk menikmati kualitas hidup yang tidak bisa didapatkan secara langsung dari hutan.
Topi dari rotan hasil hutan bukan kayu / Dok. @handepharuei |
Misalnya saat kamu membeli topi atau tas rotan yang diproduksi kelompok perempuan di sebuah komunitas. Kamu tidak hanya membeli sebuah kerajinan, tapi kamu sedang membantu seorang ibu untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang mungkin dia gunakan agar anak-anaknya bisa sekolah, untuk mendapat akses kesehatan, atau bisa juga sebagai uang tabungan.
Itu adalah bentuk dukungan kita bagi mereka yang menjaga hutan. Karena tidak adil dong kalau kita teriak-teriak menjaga hutan tapi tidak peduli dengan keberadaan manusia sekitar kawasan. Kita bisa saling dukung dengan beragam cara. Misalnya mengonsumsi produk hasil hutan bukan kayu, atau ikut mengadopsi pohon di hutanitu.id.
Produksi hasil hutan bukan kayu itu apa saja sih? produknya beragam, bisa produk pangan, kerajinan, atau jasa lingkungan. Nah, perempuan yang kuceritakan tadi sedang mengonsumsi produk hasil hutan bukan kayu dalam bentuk jasa lingkungan. Jasa lingkungan ini bisa berupa wisata alam, keindahan landskap, perlindungan tata air, maupun kesuburan tanah.
Kalau orang luar saja rela melintasi benua untuk menikmati keindahan hutan Indonesia, masa kamu gak tertarik sama sekali. Jungle camping itu seru lho! kita di Indonesia masih memiliki banyak kesempatan untuk menikmati keindahan hutan kita, jangan sampai kita melewatkannya begitu saja.
Karena tinggal di kawasan hutan aku bisa merasakan udara dan air bersih, dapat menikmati protein, buah, maupun sayuran segar, dan menikmati keindahan landskap yang sudah cantik tanpa perlu dipoles. Bahkan dalam perjalanan dari kampung ke kota aku bisa meraskan Ghibli Vibes hahaha. Bagiku hutan bukan hanya sehamparan pohon atau aset, itu adalah bagian dari identitasku sebagai orang Tamambalo.
Leluhurku menamai sungai yang mengalir di wilayah kami dengan nama Sungai Tamambalo. Tamambalo berasal dari kata Taumamlalo yang merupakan kekaguman pada kondisi alam di sekitar sungai tersebut. Leluhurku mengenal pembagian kawasan, pengetahun ini masih digunakan sampai sekarang. Karena itulah kami masih memiliki hutan bersama yang disebut Toan Palalo. Hutan ini dikelola bersama oleh Orang Tamambalo berdasarkan aturan adat.
Hutan juga inspirasiku dalam berkarya. Aku sangat takjub dengan orangutan dan burung enggang yang masih ada di kawasan hutan Kapuas Hulu. Aku pernah menulis cerita bergambar yang terinspirasi dari burung enggang, kawan-kawan bisa baca di sini. .
Cover untuk cerita bergambar Kisah Sang Enggang Pemberani / Artwork oleh Pamca Esti |
Karena merasakan manfaat memiliki hutan, aku ingin turut serta menjaga keberadaannya. Menjaga hutan berarti menjaga ruang hidup, itu juga menjaga sesamaku. Para pendahuluku sudah melakukan itu untukku, dan akan kulakukan juga untuk generasi Tamambalo selanjutnya. Akan kulakukan sebisaku. Itu adalah cara paling heroik yang pernah aku pikirkan, karena selama ini hutanlah yang selalu memberi kebaikannya. Hutanlah yang menjagaku agar tetap bernapas, agar kami dapat bertani di tanah yang subur, dan aku bisa jualan madu hahaha.
Kalian bisa mengikuti perjalananku untuk memahami isu lingkungan dengan membaca tulisan-tulisanku yang lain. Cek tagar #EcoBloggerSquad #EBS2021 atau klik Lingkungan di bagian menu. Sampai jumpa!
Comments
Post a Comment