Judul Buku: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Tahun Terbit: Maret, 2016
Tebal: 448 Halaman
“Maut tak perlu ditantang, bila waktunya datang ia pasti
menang. hlm 17”
Buku ini merupakan dongeng
petualangan dua pangeran dengan takdir yang berbeda. Raden Mandasia adalah
seorang pangeran dari kerajaan Gilingwesi yang mempunyai kegemaran ganjil –
mencuri daging sapi – dia berkelana jauh meninggalkan istana tanpa
sepengetahuan keluarga kerajaan untuk sebuah misi, menggagalkan pertempuran
besar antara kerajaannya melawan kerajaan masyhur di seberang lautan.
Sementara Raden Sungu Lembu
adalah seorang pangeran dari kerajaan kecil yang – dulunya – sejahtera, dia
adalah pangeran yang harus mandiri sejak kecil karena kerajaan mereka hancur
dan dia dibesarkan oleh pamannya. Raden Sungu Lembu adalah sosok pangeran yang
haus akan ilmu, dia tekun belajar apa saja hingga mampu mengecap racun dan
lidahnya tahan pada jenis racun apa pun. Dia memiliki tekad yang kuat untuk
membalas dendam atas hancurnya kerajaan mereka. Hal ini kemudian menjadi
alasannya berkelana dan mengalami banyak hal luar biasa, termasuk
perjumpaannya dengan Raden Mandasia.
Perjumpaan kedua pangeran ini
kemudian melahirkan cerita-cerita yang menjadi nadi dari buku ini. Penulis
kisah ini adalah pendongeng yang sangat mahir. Mulai dari pemilihan nama tokoh,
latar tempat, ide cerita, semuanya membawa kita pada kekaguman dan kegembiraan
ketika membacanya. Sungguh bahagia rasanya bisa membaca buku dongeng sebagus
ini ketika dunia sedang direcoki kisah-kisah fantasi dan pop.
Kedua pangeran ini bertemu di
rumah dadu milik Nyai Manggis, takdir membuat mereka menjadi teman
seperjalanan, lalu mereka melakukan petualangan bersama, berlayar menyebrangi
lautan, menyelamatkan para penumpang di kapal termasuk seroang pembawa wahyu,
bertemu juru masak bernama Loki Tua yang sangat mahir mengolah daging,
menyeberangi gurun Sahara, menyamar dengan masuk ke dalam kulit seorang
sida-sida, sampai bertemu puteri cantik jelita Puteri Tabassum yang
kecantikannya bahkan membuat cermin-cermin pecah. Petualangan-petualangan itu
kemudian sampai ke titiknya, Raden Mandasia dan Sungu Lembu berhadapan dengan alasan mereka berkelana. Raden
Mandasia dengan tujuan menggagalkan perang, dan Sungu Lembu yang ingin membalas
dendam.
Raden Mandasia, Sungu Lembu, Nyai
Manggis, Loki Tua, dan Puteri Tabassum, mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat
hidup diimajinasi saya. Dan Nyai Manggis adalah tokoh favorit saya, dia adalah
seorang wanita tangguh yang cerdas dan anggun. Yang saya bayangkan ketika
mereka-reka sosok Nyai Manggis adalah Nyai Ontosoroh dalam tetralogi Pulau Buru
karya Pramoedya Ananta Toer, entah mengapa bagi saya mereka merupakan wanita
dengan karakteristik yang sama walaupun kisah mereka sangat berbeda.
Petualangan kedua pangeran ini
sangat menghibur, membuat jengkel dan penasaran, membuat pembaca memaki-maki
dengan kata “Anjing!” berkali-kali, bahkan saya sampai meneteskan air mata
ketika membaca bagian akhir kisah kesebelas di buku ini. Buku yang menghantar
pembaca pada masa kerajaan ratusan tahun yang lalu. Ketika orang-orang
menunggangi kuda dan berlayar dengan kapal, ketika bercocok tanam dan melaut adalah
pekerjaan yang utama dan bela diri menjadi keahlian yang harus dikuasai. Bahasa
yang digunakan oleh penulis sangat santun dan lugas, sangat memperdaya dan
berhasil memberikan kosakata baru bagi saya.
Setiap tokoh yang dihadirkan
dalam kisah ini memiliki daya tarik tersendiri, ditambah kemahiran penulis
memadu-madankan berbagai kisah dari berbagai negara. Mulai dari Kisah Dayang
Sumbi dan Sangkuriang, Yesus Kristus, sampai John Lennon dipinjam untuk membalut
kisah para tokoh, dan sangat menarik karena cerita-cerita dari masa yang
berbeda ini bisa disatukan dalam sebuah buku dongeng. Saya sangat
merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Sebuah buku yang mampu membuat pembacanya
merasakan petualangan langsung, terseret ke masa antah berantah dan merasakan
kegembiraan. Buku ini akan menjadi buku favorit saya di tahun 2016. Pembaca
pasti akan takjub dengan petualangan kedua pangeran ini, meski buku ini tebal,
kecakapan penulis bercerita membuat pembaca tidak bosan. Saya bahkan tidak rela
buku ini harus berakhir. Yusi Avianto Pareanom sungguh seorang pendongeng yang
jatmika.
Comments
Post a Comment