Biasanya aku cuma melihat berita mengenai bencana alam melalui televisi. Banjir bandang, gunung meletus, tanah longsor dan berbagai bencana alam lainnya. Selama ini aku hanya bisa melihat penderitaan orang-orang yang mengalaminya melalui media sosial, tidak pernah benar-benar merasakan penderitaan mereka.
Aku tidak pernah berpikir bahwa suatu saat aku yang mengalami hal itu. Sampai akhirnya Pontianak tertutup kabut asap. Bulan September mungkin akan menjadi bulan paling panjang bagi warga Pontianak. Semua orang gelisah menunggu kapan kabut asap ini hilang, kapan hujan akan turun, kapan bencana ini berlalu.
Untuk pertama aku mengalami bencana alam, kabut asap yang sesungguhnya disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Keadaan kota gelap tertutup kabut asap, matahari tidak pernah nampak sejak dua minggu terakhir, asap di mana-mana, sekolah-sekolah diliburkan, semua orang mengenakan masker.
Di Puskesmas dan rumah sakit pasien penderita ISPA setiap hari semakin bertambah, dominannya balita dan lansia. Setiap hari aku mengikuti perkembangan berita mengenai asap tebal ini, Kalbar bukan satu-satunya yang tertimpa bencana kabut asap. Di luar sana ada Kalteng, Kalsel, Riau, dan Sumatera.
Udara tercemar, tidak ada satu wilayah pun yang luput dari asap di Pontianak. Penerbangan sempat diistirahatkan selama beberapa hari, banyak orang saling menyalahkan. Ada yang menyalahkan Pemerintah, ada yang menyalahkan pihak perusahaan, ada yang menyalahkan petani. Semuanya saling tuduh penyebab kebakaran hutan.
Aku sendiri saat ini sedang terbaring lemah di kamar, tidak pergi ke kampus karena dadaku sesak. Pilek yang menyerangku semakin parah, keadaannya semakin buruk karena cairan ingusku tidak bisa dikeluarkan. Orang rumah sempat panik, aku tidak diperbolehkan keluar rumah.
Sekarang keluar rumah seakan sebuah perjuangan hidup, bernapas merupakan hal yang menakutkan. Aroma asap sangat menyengat, seolah ada cairan pekat yang masuk ke rongga pernapasan dan langsung menusuk dada, aku tidak tahu apa cuma aku yang merasakan itu. Dadaku terasa berat setiap kali menghela napas, semakin lama semakin mual. Terasa sesak karena hidung tertutup masker. Ketika mengenakan motor mata terasa perih, setiap dikedipkan mata terasa panas.
Ya Tuhan, semoga bencana ini cepat berlalu. Doa semua orang mungkin saat ini sama. Memohon agar hujan turun secepatnya. Sementara Pemerintah yang telah terlanjur dihujat sibuk menanggulangi bencana orang-orang peduli yang berada di seberang sana sibuk menggalang dana untuk didonasikan bagi daerah-daerah yang tertimpa bencana kabut asap, Pontianak salah satunya.
Banyak gerakan yang bermunculan untuk mengumpulkan dana yang kemudian akan dibelikan masker lalu dikirim ke tiap-tiap daerah yang membutuhkan. Salah satunya adalah komunitas Pecinta Buku yang bertempat di Bandung. Aku sudah hampir dua bulan ini bergabung bersama komunitas berisi orang-orang gemar membaca itu. Dan sangat terharu melihat kepedulian mereka. Saat ini kawan-kawan sedang berusaha menggalang dana untuk korban kabut asap di daerah Sumatera dan Kalimantan. Semoga niat baik ini dilancarkan oleh Tuhan.
Ternyata begini ya rasanya tertimpa bencana. Rasanya waktu berlalu sangat lambat, menunggu-nunggu kapan hujan turun, setiap pagi bangun dan terburu-buru berlari ke arah jendela. Menatap ke luar dan berharap mendapati kabut asap telah hilang. Setiap hari aku bangun dan berharap kabut asap telah berakhir. Ingin secepatnya September berlalu.