“Kita tidak dapat memuja Tuhan Sang Pencipta jika kita membenci, menghancurkan, atau menyebarkan polusi, terhadap ciptaan-Nya. Kita tidak dapat mengklaim menghormati seluruh makhluk jika kita membiarkan dominasi patriarki terhadap kaum perempuan dan alam berlangsung terus." - hlm. 51
Kawan-kawan mungkin masih ingat tema Bulan Kitab Suci Nasional 2019, yaitu “Mewartakan Kabar Gembira di Tengah Krisis Lingkungan Hidup”. Sebuah tema yang saya rasa sangat relate dengan permasalahan yang sedang kita hadapi saat ini. Krisis ekologis. Kebetulan saya baru saja membaca sebuah buku menarik yang membahas respons kristiani tentang krisis lingkungan.
Buku ini berjudul Dengarkan Jeritan Bumi karya beberapa orang yang tergabung dalam gerakan Oikotree. Dengarkan Jeritan Bumi diterbitkan oleh Ultimus dan Kristen Hijau tahun 2017 lalu. Sebenarnya ini terjemahan dari buku berjudul “Listen to the Land! Responding to Cries for Life” yang dialihbahasakan oleh Harsutejo. Ada 102 halaman buku yang menyajikan penjelasan teologi dan konteks sosial mengenai krisis lingkungan yang sedang dihadapi dunia.
Ditulis dengan santai tapi isinya berbobot, tujuh bab di buku ini - kalau kata anak-anak Twitter - saya rasa cukup membuat jiwa-jiwa progresif pembaca bergejolak. Buku yang oke banget kalau saya ulas di bulan September kemarin, ya kan temanya pas dengan tema Bulan Kitab Suci Nasional hehe. Tapi tidak ada kata terlambat, buku bagus harus disebarkan.
Pada Bab I pembaca langsung disuguhi berbagai perlawanan rakyat mempertahankan tanah mereka. Mulai dari perjuangan rakyat Papua Barat untuk kedaulatan dan keadilan, jeritan bangsa Palestina, perjuangan di Kolombia, India dan Meksiko. Bab lainnya membahas persoalan lingkungan dari sudut pandang teologi. Tentang tanah dalam perjanjian lama dan baru. Bagaimana pemahaman alkitabiah tentang tanah.
Bagian yang paling ingin saya bagikan dari buku ini adalah substansi tulisan di Bab IV yang berjudul Berbagai Inisiatif Menuju Budaya Kehidupan. Bab ini membahas tentang berbagai gerakan solidaritas yang muncul karena kesadaran bersama bahwa ada yang tidak beres dengan penguasaan tanah dan cara kita memenuhi kebutuhan pangan kita.
Ada banyak organisasi yang dimunculkan, satu di antaranya La Via Campesina, suatu gerakan internasional yang menyatukan jutaan petani, petani kecil dan menengah, mereka yang tak bertanah, petani perempuan, penduduk asli, kaum migran, dan buruh tani di seluruh dunia.
Lalu saya berpikir, berdasarkan pengalaman saya mengunjungi beberapa tempat di pedalaman. Nyaris kebanyakan petani yang saya temui tidak memiliki pengetahuan tentang organisasi petani. Mereka tidak memiliki keinginan untuk mengorganisir kelompoknya dan merumuskan apa saja yang jadi kebutuhan mereka dan startegi apa yang harus diambil untuk mewujudkan kondisi yang mereka inginkan.
Ada petani-petani yang membentuk kelompok tani, namun kelompok ini hanya difungsikan untuk mempermudah mereka menerima bantuan alat penunjang pertanian dari pemerintah. Gerakan-gerakan untuk menentang kebijakan yang tidak pro terhadap petani belum pernah mencuat dari kelompok kecil tersebut.
Tapi ini soal lain, yang lebih menarik dari bab IV adalah bagaimana penjelasan mengenai perubahan yang terjadi di tengah petani-petani asia. Dulunya bertani karena petanian adalah tradisi, budaya, dan cara hidup, kini bertani karena pertanian telah menjadi agrobisnis berbasis pasar.
Golongan berkuasa mengambil alih tanah dan sistem pertanian kemudian membatasi keberagaman cara mengolah pertanian berbasis tradisi yang selama ini diterapkan masyarakat. Gereja dipanggil untuk memulihkan pertanian kepada kehidupan masyarakat.
Beberapa minggu yang lalu saya dan beberapa teman mencoba membuat rancangan masa depan kota kecil tempat kami tumbuh. Dalam rancangan tersebut kami memasukkan sentra pangan lokal. Saya berpikir alangkah bagusnya kalau para pekerja pertanian dan industri pangan mengorganisir diri, benih-benih diselamatkan dari pemangsaan korporasi pematenan, dan menerapkan cara bertani yang sesuai dengan tradisi.
Nah, membaca buku ini membuat saya semakin yakin dengan impian ini. Suatu hari nanti kehidupan akan terpulihkan, semua orang berbahagia di atas tanah ini. Tidak ada lagi yang tanahnya dirampas, terusir dari rumah, terpisah dari keluarga, dan menjalani hidup dengan ketakutan. Tidak ada lagi yang mati kelaparan atau mati tertembak peluru karena mempertahankan tanah warisan nenek moyangnya.
Buku ini sangat saya rekomendasikan bagi kamu yang tertarik dengan isu lingkungan. Kamu yang ingin memperluas bacaanmu tentang teologi. Setelah ini kita akan dijejali dengan pertanyaan-pertanyaan baru tentang akar kekerasan dan ketidakadilan, pertanyaan yang jawabannya jelas tak kita temukan jika kita hanya berlutut di dalam gereja. Karena seperti tema Bulan Kitab Suci Nasional, kita memiliki tugas untuk mewartakan kabar gembira di tengah krisis lingkungan yang kita hadapi.
Kabar gembiranya adalah teologi Kristiani sejati merupakan teologi cinta kasih dan solidaritas terhadap kaum tertindas, suatu panggilan menuju keadilan dan kesetaraan di antara manusia. Jadi mari mewartakan kabar gembira.
Kabar gembiranya adalah teologi Kristiani sejati merupakan teologi cinta kasih dan solidaritas terhadap kaum tertindas, suatu panggilan menuju keadilan dan kesetaraan di antara manusia. Jadi mari mewartakan kabar gembira.
Comments
Post a Comment